Kamis, 18 Desember 2008

bahaya konflik diri

PENGERTIAN KONFLIK-DIRI

Ada yang bisa kita sederhanakan bahasanya soal apa itu konflik-diri. Konflik di sini mengandung arti oposisi atau berlawanan. Konflik-diri adalah keadaan batin di mana orang merasa adanya pertentangan, gap atau ketidakharmonisan antara apa yang diinginkan dengan apa yang terjadi; antara harapan dan kenyataan; antara idealita dan realita. Kalau pinjam istilahnya Chris Moxey dari BBC Health, konflik itu pokoknya ada tension (ketegangan), terlepas itu ada real pressure atau tidak.

Apa ada orang yang tidak pernah punya perasaan demikian? Tentu tidak ada. Namanya juga hidup. Kalau begitu, apakah semua orang menderita konflik-diri? Di sini esensinya. Pertentangan antara harapan dan kenyataan itu tidak otomatis menciptakan konflik-diri. Jadi bukan pertentangannya yang melahirkan konflik-diri. Lalu apanya? Meminjam istilah yang dipakai para motivator, yang melahirkan konflik diri adalah penyikapan dan perlakuannya (2P).

Karena itu, seperti kata Norman Vincent Peale, sikap yang kita gunakan untuk menyikapi kenyataan itu jauh lebih menentukan ketimbang fakta hidup yang kita jumpai. "Any fact facing us is not as important as our attitude toward it, for that determines our success or failure", begitu kesimpulannya.

Pertentangan itu akan menimbulkan konflik ketika kita menyikapinyan dengan cara "untuk mempertentangkan" atau untuk mematikan (perkembangan). Tapi, pertentangan itu tidak akan menimbulkan koflik seandainya saja kita belajar menyikapinya dengan cara untuk mendamaikan atau mendinamiskan hidup kita.

Sebagai contoh misalnya saja kita merasa sering gagal dalam usaha, entah itu gagal dalam usaha akademis, usaha karir atau usaha bisnis. Gagal di sini adalah fakta hidup yang bisa memicu konflik dan bisa pula tidak. Jika kita menyikapinya dengan cara-cara yang bertentangan dengan prinsip "learning" sebagai hukum Tuhan, maka ini bisa menimbulkan konflik.

Learning dalam pengertiannya sebagai hukum itu adalah memperbaiki dengan melakukan, bukan mengetahui saja. Learning adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Learning yang dimaksud di sini adalah proses pengembangan diri dan perbaikan melalui serangkaian aktivitas yang kita lakukan. Learning adalah perubahan pada prilaku, kebiasaan dan budaya melalui pengalaman atau praktek (pengetahuan dan skill). Menurut pengalaman Jacky Chan, akan lebih mudah kita menjadi orang yang lebih baik dengan cara melakukan sesuatu atau berkarya (learning).

Karena itu, seperti kata John Clark (Managing people problems, Stress News July 2002 vol.14 no.3), konflik itu ada yang bisa disebut konflik produktif (productive conflict) dan ada yang bisa disebut konflik destruktif (destructive conflict). Produktif di sini artinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kita (meski rasanya menurut kita tidak enak).

Kalau melihat praktek hidup sehari-hari, rasanya pendapat di atas berlaku juga pada konflik pribadi dengan dirinya (intrapersonal conflik). Kalau kita merasa kurang berpotensi untuk meriah prestasi, lalu perasaan itu kita gunakan untuk mengaktifkan tombol-tombol learning di dalam diri, ini produktif. Lain soal kalau kita gunakan untuk menghukum diri, memasung diri, membelenggu diri, dan lain-lain. Cara-cara seperti ini sudah jelas destruktif (merusak).

Bahaya 3D

Berbahayakah konflik-diri itu? Kalau melihat teori dan prakteknya, itu berbahaya. Dari sekian bahaya yang berpotensi muncul itu kira-kira adalah:

1. Disorientasi

Disorientasi di sini adalah kehilangan orientasi hidup. Secara orientasi, menurut teori learning (Aaron E. Black & Edward L. Deci, 2000), manusia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

* Autonomy,
* Controlled
* Impersonal

Autonomy adalah orang yang sudah memiliki orientasi mandiri atau matang: misalnya tahu tujuannya, tahu apa yang harus dilakukan, tahu apa yang harus dihindari, dan seterusnya. Sedangkan controlled adalah orang yang masih membutuhkan kontrol orang lain, misalnya saja harus ada perintah, harus ada larangan, harus diawasi terus, dan setersunya. Sementara, impersonal adalah orang yang memang sudah tidak memiliki orientasi lagi, kehilangan arah, kehilangan kontak dengan dirinya.

Nah, konflik-diri yang tidak segera kita hentikan sangat berpotensi mengantarkan kita terkena disorientasi ini. Bagaimana cara menghentikannya? Tentu kita perlu belajar menjadi orang yang “otonomi�. Untuk menjadi seperti itu, syaratnya adalah menjadikan pertentangan sebagai dorongan untuk menjalankan learning atau membuat konflik itu menjadi produktif dan tetap terarah.

2. Demotivator

Demotivator adalah lawan dari motivator (pendorong). Orang yang di dalam dirinya banyak demotivator akan cenderung apatis, pesimis, malas-malasan, dan berbagai bentuk hal-hal negatif lainnya. Apa saja demotivator manusia itu? Tentu saja tidak mungkin disebutkan satu persatu karena saking banyaknya. Cuma, dari praktek hidup ini kita tahu bahwa konflik-diri termasuk salah satu demotivator.

Ketika kita mempertentangkan diri kita dengan realitas yang kita hadapi (dalam bentuk pertentangan yang destruktif), yang muncul adalah stress, distress, depresi dan seterusnya. Seperti yang sudah sering kita bahas di sini, berbagai bentuk kerusakan emosi itu (emotional demage) sangat terkait dengan soal motivasi dan demotivasi hidup.

Karena itu, kalau memperhatikan orang yang "termotivasi" dalam hidupnya, mereka punya dua hal yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Pertama, memiliki sasaran hidup yang lebih jelas di pikirannya. Sasaran itu memotivasi langkahnya. Kedua, memiliki kemampuan dalam mengatasi hal-hal buruk agar tidak sampai memperburuk batinnya terlalu lama. Mereka mampu melihat hal-hal buruk dengan cara dan dalam bentuk yang lebih sehat.

3. Destroyer

Destroyer adalah perusak. Kalau melihat teori tentang bakat, kecerdasan, kompetensi atau potensi SDM, rasanya semua sepakat bahwa setiap orang itu memiliki apa yang bisa kita sederhanakan dengan istilah “keunggulan personal�. Keunggulan ini ada yang memang sudah ada sejak lahir (pembawaan) dan ada yang sifatnya hasil olahan atau pemberdayaan yang terus bisa di-explore.

Meski sudah sedemikian rupa orang itu memiliki keunggulan personal, tetapi prakteknya banyak orang yang tidak menemukan apalagi menggunakan. Kenapa ini bisa terjadi? Salah satunya adalah kegagalan kita dalam mengontrol diri atau menguasai diri. Nah, konflik-diri juga terkait dengan kemampuan kita dalam mengontrol perasaan, pikiran dan sikap terhadap realita.

Karena itu, seorang pakar kecerdasan dari Harvard, Howard Gardner, pernah menyimpulkan bahwa peranan kita jauh dan jauh lebih menentukan ketimbang peranan kecerdasan yang kita miliki. Artinya, biarpun kita memiliki banyak kecerdasan, namun kalau kitanya tidak cerdas (mau menggali, mau menggunakan, dst), ya kecerdasan itu tidak ada manfaatnya. Untuk bisa menjadi orang yang cerdas dalam menggunakan kecerdasan ini syaratnya adalah kemampuan mengendalikan dan menguasai diri. Einstein sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya tidak mungkin dihasilkan dari tangan seseorang yang batinnya gundah.

MENDINAMISKAN KONFLIK

Berdasarkan praktek hidup, tidak mungkin kita menghilangkan konflik itu. Pertentangan (gap) antara harapan dan kenyataan terjadi setiap saat. Yang perlu kita lakukan adalah mendinamiskan konflik itu supaya menjadi konflik yang produktif. Apa yang bisa kita lakukan? Di bawah ini ada sejumlah pilihan yang bisa kita jadikan acuan:

Pertama, ciptakan pandangan positif terhadap diri sendiri dan kenyataan. Kata kuncinya di sini adalah menciptkan. Kenapa harus diciptakan? Berdasarkan bukti, pandangan negatif itu muncul sendiri secara otomatik saat menghadapi kenyataan buruk atau disharmoni. Kalau kita gagal, ya kegagalan itu langsung negatif.

Karena itu ada yang menyarankan agar kita menciptakan emosi kedua yang positif. Semua orang yang normal kalau gagal atau menghadapi kenyataan buruk pasti mengeluarkan reaksi semacam penolakan atau ketidakpercayaan (denial and distrust). Supaya api konflik batin tidak membara terlalu lama, ciptakan emosi kedua yang lebih positif, misalnya menerima untuk memperbaiki, mengambil hikmah, dan lain-lain. Ini akan mempengaruhi bagaimana kita menyikapi dan memperlakukan.

Kedua, miliki sasaran dan program. Ini kunci. Kita mungkin sulit "memaafkan" hal-hal buruk yang menimpa kita, kalau kitanya tidak berubah ke arah yang lebih baik. Gagal masuk UMPTN yang kita impikan akan terus menghantui apabila kita juga gagal membuat diri kita menjadi orang lebih baik. Untuk menjadi orang yang lebih baik, kuncinya adalah punya sasaran yang jelas dan punya program untuk mencapainya dan itu kita jalankan. Bagaimana membuat sasaran yang jelas ini sudah sering kita bahas di sini. Menurut seorang pakar pendidikan, Dr. Felice Leonardo Buscaglia, trauma yang abadi adalah penderitaan yang tidak diikuti dengan perbaikan.

Ketiga, tingkatkan ketajaman sensitivitas. Maksudnya di sini adalah cepat mengetahui apa yang terjadi pada batin kita. Masih banyak orang yang tidak mau peduli dengan kondisi batinnya sehingga tidak tahu apa yang terjadi di dalamnya. Konflik batin akan menjadi semakin akut apabila tidak segera diatasi. Untuk bisa mengatasi ini memang perlu tahu dan sadar. Saran Covey, banyak-banyaklah berkomunikasi dengan diri anda. Kehilangan kontak batin dapat mengobarkan api konflik yang terus membara. Tahu akan membuat kita cepat menghentikan, membatalkan dan mencari obatnya.

Ajaran agama juga punya saran yang sama. Kita disarankan untuk sering-sering "ingat" pada Tuhan. Ingat di sini tentu mengandung pengertian membangun kontak atau komunikasi. Diharapkan, dengan punya kontaks yang bagus, ini memudahkan kita untuk menjaga diri: apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita hindari, apa yang lebih baik kita lakukan, apa yang lebih baik kita hindari, dan apa yang boleh kita lakukan atau boleh dihindari (free choice). Jadi, mengingat Tuhan itu esensinya adalah memperbaiki diri. Seperti yang digariskan dalam firman Tuhan, orang yang melupakan Aku akan lupa dirinya sendiri (losing contact) dan mengundang kehidupan yang bergejolak (tension).

Keempat, banyak-banyak bergaul, berinteraksi atau berada di lingkungan orang-orang positif. Orang lain memang tidak menentukan diri kita, tetapi untuk menjadi orang yang dinamis atau positif, kita butuh orang lain yang seperti itu. Sebagian besar orang merasa lebih cepat belajar dari orang lain langsung yang dilihatnya ketimbang membaca buku atau mendengarkan ceramah.

Kelima, jadilah fasilitator yang baik. Menjadi fasilitator artinya kita siap dan terbuka (secara mental) terhadap berbagai peristiwa atau kejadian dan menjadikannya sebagai materi untuk learning. Menjadi fasilitator artinya bukan menjadi rival atau oposan dimana kita hanya mau menerima sesuatu yang kita harapkan saja. Meski ini sah-sah saja kita lakukan tetapi persoalannya bukan di situ. Di dalam hidup ini ada hal-hal yang bisa kita kontrol tetapi ada juga hal-hal yang ada yang tidak bisa dikontrol (kecuali harus dihadapi). Di sini masalahnya. Semoga bermanfaat.

permusuhan bathin

Kehilangan Perspektif

Praktek hidup sedikitnya mengenal dua bentuk permusuhan, yaitu permusuhan lahir / fisik (fisik dalam arti kelihatan dan fisik dalam arti kekerasan dengan menggunakan "akal") dan permusuhan batin / non-fisik atau bentuk permusuhan yang tidak kelihatan secara nyata. Bentuk permusuhan pertama memang perlu juga diwaspadai tetapi ini biasanya terjadi dengan sepengetahuan kita. Di samping itu, ada banyak instrumen eksternal yang membantu kita untuk meredamnya dan kalau dilihat dari sisi jumlah secara keseluruhan, memang agak terbatas.

Bentuk permusuhan yang terkadang kita lakukan di luar pengetahuan dan kesadaran kita dan tidak ada instrumen eksternal yang membatasinya serta jumlahnya tak terbatas adalah bentuk permusuhan kedua yang terjadi antara kita dengan orang yang hampir setiap hari kita ajak berinteraksi, entah itu soal pekerjaan, sekolahan, keluarga dan lain-lain. Mungkin inilah satu dari sekian "dark-side" (sisi buruk) dari hubungan yang dekat. Karena itu, ada pesan yang patut kita renungkan tentang hubungan yang dekat, yaitu: jangan-jangan hubungan kita itu hanya "diduga" bersatu padahal bersiteru, jangan-jangan hanya kelihatannya saja kita ini akrab padahal tidak, jangan-jangan hanya di luarnya saja baik tetapi di dalamnya tidak, dan seterusnya.

Bagaimana ini terjadi? Ada yang perlu kita jadikan semacam rujukan yang bisa menjelaskan tentang bagaimana asal-usul permusuhan batin itu muncul di dalam diri kita. Kalau merujuk pada hasil kajian Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996), kira-kira asal-usul itu bisa dijelaskan sebagai berikut:

*
Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada diri orang lain
*
Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
*
Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
*
Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi)
*
Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.

Itu hanya salah satu dari sekian proses atau asal-usul yang bisa dijelaskan di sini. Intinya, apa yang bisa kita pahami tentang permusuhan batin dalam praktek hidup itu adalah ketika kita sudah kehilangan perspektif atas orang lain sebagai akibat dari akumulasi perasaan atau penilaian negatif. Kita hanya mampu melihat hal yang jelek-jeleknya saja atau hal-hal yang pantas dimusuhi saja atau malah kita kehilangan keadilan dalam menilai.

Mengapa Perlu Diwaspadai?

Jika ini dikaitkan dengan upaya kita untuk meningkatkan prestasi di bidang pilihan kita, entah itu pekerjaan, usaha, akademik, dan lain-lain, maka ada sedikitnya tiga alasan mendasar yang layak untuk diingat, yaitu:

1. Sasaran fokus

Kalau dipukul rata bisa dikatakan bahwa semua orang yang pergi ke tempat kerja, ke sekolah / kampus atau ke tempat usaha, memiliki tujuan yang bagus, dari mulai mencari nafkah, mencerdaskan diri, meningkatkan prestasi dan seterusnya. Namun sayang dalam prakteknya, fokus kita melenceng pada orang yang tidak kita suka / kita musuhi, bukan pada sasaran utama kita - untuk mengejar cita-cita. Akibatnya, sasaran kita jadi terlantar.

Ada saatnya untuk patut curiga, jangan-jangan ketidak-optimalan kita mencapai sasaran itu bukan karena kita tidak mampu tetapi karena kita jarang memikirkannya. Jangan-jangan pikiran kita lebih sering kita gunakan mengurusi orang lain yang kita musuhi ketimbang orang lain yang baik sama kita. Secara umum mungkin kita perlu menjadikan ungkapan Robert McKain sebagai bahan renungan: "Alasan mengapa kita sering gagal, karena kita telah menggunakan waktu kita untuk mengerjakan hal-hal yang kurang utama bagi sasaran kita".

Menurut pengalaman Bruce Lee, mewujudkan sasaran atau tujuan, menuntut upaya batin dalam mengerahkan fokus pada sasaran seperti sinar laser. Fokus pada sasaran seperti sinar laser ini bukan hanya akan membuat kita melupakan permusuhan batin yang kita buat sendiri, melainkan bisa membuat kita terkadang lupa sarapan, seperti yang diungkapkan oleh Charles Schewabb.

2. Praktek Reaktif

Kalau boleh didefinisikan, praktek reaktif adalah tindakan yang didasari oleh dorongan eksternal (stimuli) yang tidak lagi kita saring menurut tujuan, sasaran, atau kebutuhan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sering dicontohkan bahwa di sana ada banyak orang yang membangun rumah atau membeli barang-barang rumah tangga bukan karena memang itu dibutuhkan tetapi karena tetangganya membeli.

Jika dijelaskan menurut Teori Logika, praktek demikian lahir dari keputusan reaktif yang biasanya didorong oleh keinginan asal-beda, asal tidak kelihatan kalah, supaya bisa kelihatan lebih unggul dari orang lain, dan lain-lain. Menurut Teori itu, keinginan demikian sangat berpotensi melahirkan keputusan yang salah dalam praktek atau minimalnya (meminjam istilah Stephen Covey) melahirkan kebiasaan hidup tidak efektif. Kita melakukan sesuatu bukan atas dasar tujuan, sasaran, kebutuhan, keinginan dan keuntungan kita, melainkan atas keinginan supaya bisa mengalahkan atau supaya tidak kelihatan kalah. Praktek demikian tentu sulit dipisahkan dari permusuhan batin yang kita buat sendiri.

Harus diakui bahwa terkadang keinginan demikian sulit dihindari dan mungkin terkadang dibutuhkan.Tetapi jika kadarnya sudah berlebihan dan kita menempati posisi sebagai pihak yang dikuasai hawa nafsu, maka dampak buruk tak dapat dielakkan.

Kita diajarkan untuk memasuki wilayah persaingan (kompetisi) karena di sini merupakan wadah mengasah keunggulan. Tetapi yang tidak boleh kita lakukan adalah permusuhan atau persaingan yang tidak sehat (kongkurensi, to conquer, menaklukkan).

3. Burn-out

Merujuk pada penjelasan Henry Neil dalam "13 Signs of Burnout and How To Help You Avoid It" (IAN, International Assessment Network and MAPP: 2003), burn-out adalah virus yang menyerang kita sampai membuat kita kehilangan motivasi, kehilangan inspirasi, dan kehilangan jurus dalam beraksi, "missing-action", entah itu berkaitan dengan karir, usaha, olahraga atau kegiatan akademik.

Apa yang menyebabkan kita terkadang seperti seorang penyair yang kehabisan kata-kata? Tentu sebab-sebabnya tidak bisa didetailkan satu persatu dalam tulisan tetapi salah satunya yang perlu diaudit adalah adanya bentuk permusuhan batin yang tidak kita hentikan atau yang kita biarkan. Karena itu Danien Goleman yang kita kenal telah banyak menaruh perhatian di bidang Kecerdasan Emosional menjelaskan bahwa orang yang menolak mencerdaskan emosinya akan mendapatkan dampak buruk yang antara lain adalah (Emotional Intelligence And You, Doug Gray, Action Learning Associates, Inc. 2001 - 2005 ):


1.Mudah dibikin kalut oleh perubahan buruk

2.Kurang mampu bekerjasama, mudah patah dalam menjalin hubungan dengan orang lain

3.Sering terputus hubungan dengan diri sendiri akhirnya gampang kalap

4.Mudah terserang virus yang bernama "burn-out"

5.Mudah terkena "over" antara: mudah kebablasan atau terlalu hati-hati)

Harus diakui memang bahwa untuk memiliki kemampuan memfokus pada tujuan seperti sinar laser, untuk membiasakan praktek proaktif, dan untuk melangkah secara lancar (tanpa burn-out), tidak bisa diwujudkan dengan hanya menghilangkan permusuhan batin semata tetapi ketika permusuhan batin ini tidak kita hentikan, maka keberadaannya akan mengganggu fokus, kelancaran dan praktek kita.

Pembelajaran

Satu dari sekian jurus yang bisa kita pilih untuk menghentikan permusuhan batin adalah berikut ini:

1. Cepat mengingat / menyadari tujuan

Prakteknya sering membuktikan bahwa tujuan itu tidak cukup hanya diingat sekali atau hanya ditulis sekali di agenda. Banyak praktek yang menyimpang dari tujuan hanya disebabkan oleh faktor lupa dalam arti tidak sadar atau tidak "eling". Karena itu banyak pakar SDM yang menyarankan agar kita menulis tujuan itu di tempat-tempat yang sering kita lihat, seperti di buku agenda, di file komputer atau di meja kerja. Bahkan ada yang menyarakan supaya tujuan itu diungkapkan dalam bentuk gambar agar otak kanan kita juga bisa bekerja dan mudah diingat.

2. Membuat pembatas (personal boundaries)

Satu hal yang perlu disadari bahwa kalau kita melihat permusuhan batin ini dari sisi orang lain, tentulah tidak akan ada habisnya. Ada beberapa hal dari orang lain yang bisa kita kontrol atau bisa kita cegah atau bisa kita ajak kompromi untuk menghindari permusuhan batin tetapi ini tidak mungkin semuanya.

Karena itu, yang bisa kita lakukan adalah membuat pembatas di dalam diri kita yang menjelaskan tentang apa saja dari orang lain yang bisa kita beri toleransi, apa saja yang tak penting untuk dipikirkan atau diurusi, dan apa saja yang perlu dibicarakan. Membuat pembatas ini bukan untuk membatasi orang lain tetapi untuk membatasi diri kita sendiri agar jangan sampai sedikit-sedikit kita terpancing untuk bermusuhan secara batin dengan standar dan alasan yang tidak jelas dan tidak substansial.

3. Mengedepankan manfaat (advantages)

Kerapkali terjadi bahwa salah satu faktor yang memperpanjang durasi permusuhan, entah itu lahir atau batin, adalah karena cara berpikir kita yang dualisme, siapa yang benar dan siapa yang salah. Lebih-lebih lagi, meminjam istilah Paulo Coelho, ketika keduanya sama-sama merasa mendapatkan dukungan dari Tuhan.

Kalau kita sudah bicara siapa, maka di dunia ini siapa yang paling benar adalah kita dengan seperangkat alasan yang kita miliki dan begitu juga dengan orang lain. Karena itu Stephen Covey pernah menjelaskan bahwa jika siapa yang benar itu diadu antara milik kita dengan milik orang lain, maka yang terjadi adalah permusuhan, perang, dan pertahanan egoisme kebenaran-sendiri.

Untuk mengatasi hal ini maka salah satu pilar peradaban manusia mengajak kita untuk menggunakan pola berpikir yang berasaskan pada "apa manfaatnya" atau "apa yang benar" bukan "siapa yang benar". Apa yang benar adalah “the best� sedangkan siapa yang benar adalah "the good". Seringkali yang menghalangi kita mendapatkan the best adalah karena kita lebih sering mempertahankan the good menurut versi kita.

kapan curhat diperlukan?

Kebutuhan Sosial Insani

Dari praktek yang sering kita lakukan, curhat (dibaca: curahan hati) itu adalah pengungkapan kita tentang kita (personal) kepada orang lain. Curhat ini berbeda dengan pengaduan. Pengaduan lebih sering dipakai untuk hal-hal yang bersifat sosial. Curhat juga berbeda dengan konseling. Konseling lebih bersifat personal-formal. Di samping itu, konseling memiliki standar profesional dan terkadang juga harus bayar. Hal yang paling mendasar dari konseling adalah bimbingannya.

Seiring dengan kemajuan teknologi, praktek curhat ini sudah mengalami banyak perkembangan. Ada stasiun radio yang khusus menangani orang yang ingin curhat. Ada provider telepon seluler yang membuka nomor khusus untuk curhat. Ada mailing list khusus yang memang didesain untuk keperluan curhat. Bahkan tak sedikit website yang berubah fungsinya menjadi semacam tempat untuk curhat-curhatan antar membernya.

Kenapa banyak orang yang menempuh cara curhat? Adakah manfaat yang bisa dipetik dari cara demikian? Memang ada pendapat yang berbeda-beda soal hal ini. Dari sebagian orang yang saya tanya, ada yang menganggap curhat itu kurang kerjaan. Masalah itu tidak selesai dengan curhat. Curhat itu adalah lambang kecengengan. Tapi tidak sedikit yang menganggap itu sangat dibutuhkan. Curhat bisa menormalkan emosi, bisa menyumbangkan pandangan, dan bisa melegakan batin. Meski masalah tidak selesai dengan curhat, tetapi biasanya sehabis curhat kita merasa plong atau lebih ringan.

Kalau dilihat dari teorinya, memang ada banyak penjelasan yang bisa dipahami bahwa curhat itu termasuk kebutuhan sosial manusia. Di antara kebutuhan sosial itu misalnya: ingin ditemani, ingin ada orang yang merasa senasib, ingin dipedulikan, ingin dihargai, ingin dianggap, ingin didengarkan, dan seterusnya dan seterusnya. Kata sebuah bait puisi yang pernah saya baca, sumbangsih yang paling berharga untuk sesama kita adalah kesediaan untuk saling mendengarkan.

Menurut Horney (1945), setiap orang itu pada dasarnya memiliki tiga kebutuhan dasar. Kebutuhan pertama adalah kebutuhan untuk mendekati orang lain / orang banyak guna mendapatkan cinta / pengakuan. Curhat bisa masuk dalam kebutuhan ini. Kebutuhan kedua adalah kebutuhan untuk menjauhi orang banyak guna memperoleh kebebasan dan kemandirian. Sedangkan kebutuhan ketiga adalah kebutuhan untuk menentang orang banyak guna mendapatkan kekuasaan atau kekuatan (unjuk gigi).

Terlepas itu berguna atau tidak, tapi prakteknya ini kerap kita lakukan atau sulit dihindari untuk tidak melakukannya. Karena itu, mungkin di sini yang diperlukan adalah melihat kapan dan bagaimana curhat itu kita lakukan. Di bawah ini ada beberap hal yang mungkin perlu kita perhatikan:

Pertama, curhat-lah hanya pada orang yang menurut anda itu layak. Layak di sini pengertiannya mungkin layak dalam menjaga rahasia pribadi, layak dalam menangani masalah, layak secara kedekatan hubungan, dan seterusnya. Jangan curhat kepada semua orang atau sembarang orang. Lain soal kalau niat kita memang hanya untuk iseng.

Kedua, curhat-lah hanya ketika kita mendapati masalah-masalah yang memang perlu curhat. Misalnya saja kita menghadapi masalah yang rasa-rasanya belum terbayang bagaimana menanganinya. Saat itu kita butuh pembanding, butuh konfirmasi (penguat) dari orang lain, butuh informasi, dan seterusnya. Jangan curhat untuk semua masalah. Ini berpotensi menghilangkan power personal atau bisa dianggap kita ini cengeng atau selalu mengeluh. Bedanya terkadang sangat tipis dan tidak ketahuan.

Ketiga, curhat-lah pada waktu yang tepat atau yang kira-kira tidak mengganggu orang yang kita curhati. Jangan sedikit-sedikit curhat atau curhat terlalu lama. Perlu kita ingat bahwa ketika kita sadang sangat butuh untuk curhat, umumnya kondisi emosi kita tidak stabil. Mungkin stress, depresi atau mungkin sedang merasa terhimpit. Dalam kondisi semacam itu, biasanya kita cenderung "agak memaksa" orang lain. Kita ingin secepatnya dipahami oleh orang lain lebih dulu. Padahal kita juga perlu memahami orang lain. Karena itu, yang dibutuhkan di sini adalah kendali diri. Jangan sampai kita mengesampingkan kebutuhan untuk memahami orang lain meski keinginan kita adalah untuk dipahami secepatnya.

Keempat, curhat-lah untuk berbagi pengalaman, pengetahuan dan perasaan. Meski kita yang punya acara untuk curhat itu, tapi jangan lupa juga memberikan kesempatan bicara kepada orang yang kita curhati. Ajukan pertanyaan seputar pengalaman dan pengetahuannya tentang persoalan tertentu. Jangan sampai kita curhat hanya untuk curhat. Walaupun ini sah juga tapi alangkah baiknya kalau kita juga mendapatkan manfaat yang banyak. Selain itu, dapatkan juga dukungan. Agar ini tercapai, kita harus tahu orang yang tepat untuk dicurhati.

Kelima, curhat-lah untuk tujuan yang positif dan konstruktif. Ini maksudnya adalah demi kebaikan kita atau demi untuk memperbaiki situasi. Titik. Kenapa perlu dibatasi? Terkadang kita curhat dengan menjelek-jelekkan orang lain, entah itu atasan, teman, pasangan, keluarga, dan siapa saja yang intinya malah memperkeruh suasana. Masalah kita dengan orang lain dan apa saja yang dilakukan orang lain atas kita memang butuh penjelaskan. Tapi, penjelasan di situ sifatnya untuk membeberkan fakta atau memberikan perspektif yang lebih utuh. Ini agar diketahui apa saja yang sebaiknya kita lakukan. Yang jangan sampai adalah penjelasan itu kita bumbui dengan fitnah, adu domba, kedengkian, manipulasi fakta, dan seterusnya. Ini berbahaya buat kita sendiri dan orang lain tentunya.

Hindari Lima Hal

Meski tidak ada kaidah yang mengatur bagaimana kita seharusnya curhat, tapi sepertinya ada rambu-rambu tak tertulis yang perlu kita perhatikan. Sebagian dari sekian rambu-rambu itu adalah:

Pertama, jangan berharap terlalu banyak (over-expectation). Kita mengharapkan seluruh penyelesaian masalah kepada orang yang kita curhati. Ini berpotensi memunculkan mentalitas yang oleh Bandura disebut Avoiding personal responsibility, kebiasaan melemparkan tanggung jawab. Kita perlu sadar, karena kita yang terkena masalah, maka kitalah yang perlu bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah. Orang lain itu kita butuhkan sebagai bantuan, bukan sebagai tempat untuk melemparkan tanggung jawab. Kita memang harus butuh orang lain, tetapi tidak boleh mengandalkan orang lain.

Kedua, fokuskan pada perbaikan situasi, masalah, atau problem, bukan pada orang. Kenapa ini penting untuk diingat? Seperti yang sudah kita singgung, terkadang kita ingin curat ketika bermasalah dengan orang lain. Saat itu pikiran kita selalu mengarah pada kesimpulan bahwa orang lain-lah yang harus berubah. Padahal, dalam situasi semacam itu, bisanya ini sangat sulit terwujud.

Sebagai gantinya, fokuskan pada persoalan (problem, not people). Ini berarti arah yang kita capai adalah bagaimana mengubah diri sendiri dalam menghadapi masalah itu, bukan bagaimana mengubah orang lain yang keberadaannya di luar kontrol kita. Mengubah diri sendiri, mengubah pendekatan dan perlakuan kita terhadap orang lain, biasanya akan mengubah orang lain. Untuk mengubah diri sendiri ini, mintalah masukan kepada orang yang kita curhati.

Ketiga, jangan "menjual masalah" melalui curhat. Maksudnya adalah, jangan melakukan curhat untuk diberi semacam yang bisa disebut "belas kasihan", meskipun itu bukan niat kita. Kenapa? Prakteknya, posisi demikian terkadang kurang menarik minat orang lain untuk ber-empati (share of feeling atau peduli). Padahal empati itu mungkin tujuan kita. Tapi jangan juga menampilkan sikap atau prilaku yang bisa disimpulkan sebagai kesombongan atau tidak tahu diri, misalnya menolak bantuan yang kita butuhkan atau enggan berterima kasih atas nama kesombongan dan keangkuhan

Keempat, harus efektif dan efisien. Maksudnya pasti kita sudah tahu. Efektif artinya seimbang antara usaha yang kita lakukan dan hasil yang kita dapatkan (tepat sasaran). Sedangkan efisien adalah penggunaan waktu / biaya yang sebaik-baiknya untuk mencapi hasil yang kita inginkan. Dulu, sebelum tehnologi seluler ditemukan, banyak kantor yang kebobolan teleponnya. Menurut hasil survei yang pernah saya baca, ternyata hanya 20 % penggunaan telepon kantor itu yang untuk urusan kantor. Sisanya tidak jelas, mungkin untuk pacaran, curhat-curhatan, dan seterusnya. Kalau begini caranya, tentu kita rugi dan kantor pun rugi.

Kelima, jangan sampai membuka ruang untuk disalah-tafsirkan. Poin ini sangat penting untuk orang yang sudah berkeluarga. Kata seorang penasehat perkawinan yang saya kenal, amat sangat disarankan untuk tidak curhat kepada orang lain yang lawan jenis, terutama tentang masalah keluarga atau pribadi. Kenapa? Sebetulnya tidak apa-apa juga selama itu dilandasi oleh ke-sepaham-an dan masih dalam batas yang proporsional. Tapi bila dua hal ini tidak ada, ini berpotensi memunculkan salah tafsir dari orang yang kita curhati atau dari orang sekitar.

Untuk Orang yang Dicurhati

Di antara kita pasti ada yang selalu didatangi orang untuk curhat. Kalau anda termasuk, syukurilah itu. Kenapa? Dilihat dari perkembangan teori kecerdasan (Multiple Intelligence), ada yang mengatakan bahwa tanda-tanda orang yang punya kecerdasan Interpersonal itu adalah sering dimintai nasehat, pandangan, pendapat atau mungkin sering dicurhati orang. Kalau itu selalu dikembangkan, pasti akan membuahkan keuntungan, entah itu dalam kehidupan profesi, karir, keluarga atau masyarakat.

Berdasarkan kasus-kasus yang kerap muncul, baik di lapangan atau di dalam penjelasan literatur, nampaknya ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Ini antara lain:

Pertama, setiap masalah itu adalah masalah bagi orang yang sedang terkena masalah. Tidak ada masalah yang ringan bagi orang yang sampai merasa perlu untuk men-curhat-kan masalahnya. Artinya, jangan sampai kita menyepelekan masalah orang lain dengan mengatakan, misalnya saja: gitu aja dipikirin, cengeng banget kamu, saya pernah punya masalah yang jauh lebih dahsyat tapi tidak secengeng kamu, dan seterusnya dan seterusnya. Mungkin intinya di sini adalah kita merendahkan orang lain.

Akan lebih bagus kalau kita berusaha mendengarkan, memahami dan mengeksplorasi perspektif ke tingkat yang lebih luas. Kalau kita punya pengalaman pribadi, sampaikan itu ke dalam paket solusi-solusi alternatif. Kalau kita belum punya referensinya, kasihlan pendapat yang mengarah pada penemuan solusi atau perbaikan-perbaikan. Ini akan lebih positif dibanding dengan ketika kita mengangkat diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.

Kedua, tunjukkan empati, bukan simpati. Empati itu pada dasarnya adalah peduli atau care (perhatian). Thomas F. Mader & Diane C. Mader, dalam Understanding One Another (1990), menjelaskan, empati itu adalah kapasitas seseorang untuk bisa berbagi atas dasar semangat kepedulian. Peduli ini, kalau mengacu pada teori kompetensi, ada tingkatannya atau ada skalanya. Bentuk peduli yang paling tinggi adalah bantuan nyata atau tindakan.

Lalu kenapa harus menghindari simpati? Simpati yang dimaksudkan di sini adalah menaruh belas kasihan tetapi dasarnya itu adalah (semacam) merendahkan atau menghina orang yang curhat ke kita seolah-olah nasibnya sangat lebih jelek dibanding kita. Simpati dalam pengertian seperti ini agaknya kurang dibutuhkan. Termasuk dalam pengertian simpati di sini adalah, kita ikut hanyut atau larut ke dalam perasaan orang yang curhat sampai-sampai membuat akal sehat kita tidak bekerja untuk melihat persoalan. Logikanya, kalau kita sendiri ikut hanyut, apa ya mungkin kita bisa memberi masukan yang menyehatkan?

Ketiga, faktual dan "problem centered". Menurut teori manajemen, keputusan yang kualitasnya bagus adalah keputusan yang dilandasi fakta, bukan berdasarkan perasaan pribadi. Ini terkadang tepat pula untuk memberi masukan kepada orang yang curhat. Agaknya kita perlu menghindari pemberian saran, masukan atau pendapat yang malah membuat orang malas berpikir, punya harapan atau keyakinan yang tidak realistis, atau malah menghancurkan spirit hidupnya.

Dekatkan orang pada masalah yang dihadapi (faktual) dan bangkitkan spiritnya. Jangan menghibur seseorang dengan kata-kata manis yang tidak mendorongnya untuk melakukan sesuatu (aksi atau antisipasi). Tapi jangan pula menggembosinya dengan opini-opini negatif yang merusak atau kata-kata yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan destruktif.

Keempat, hindari upaya untuk memojokkan, menyalahkan dan apalagi memarahi. Fokuskan pada apa yang bisa dilakukan oleh dia dan oleh kita terkait dengan masalah yang muncul. Bagaimana kalau demi "pendidikan"? Bisa-bisa saja. Cuma, memarahi orang yang sedang terkena masalah biasanya kurang efektif dan sangat mungkin memancing penolakan. Yang ia butuhkan adalah bantuan. Mungkin nanti kalau kita sudah bisa membantu barulah kita memarahinya, kalau memang itu diperlukan. Jangan sampai kita mengatakan sesuatu yang menyakitkan padahal kita tidak bisa membantu apa-apa.

Kelima, jaga "kehormatan" orang yang curhat. Kehormatan di sini termasuk misalnya saja: merahasiakan sesuatu yang memang harus dirahasiakan. Kalau pun itu harus dikatakan kepada orang lain / pihak ketiga, hendaknya itu perlu didesain dengan bahasa yang kira-kira bisa memunculkan solusi atau perbaikan, bukan untuk meremehkan, menjelek-jelekkan, atau membuka aib seseorang.

Itulah sebagian dari sekian hal yang mungkin penting untuk diingat ketika hendak curhat atau ketika dicurhati orang lain. Semoga bermanfaat.

pengungkapan diri

Dalam kehidupan sosial di masyarakat, individu seringkali dirundung rasa curiga dan tidak percaya diri yang kuat sehingga tidak berani menyampaikan berbagai gejolak atau pun emosi yang ada di dalam dirinya kepada orang lain, apalagi jika menyangkut hal-hal yang dianggapnya tidak baik untuk diketahui orang lain. Akibatnya individu tersebut lebih banyak memendam berbagai persoalan hidup yang akhirnya seringkali terlalu berat untuk ditanggung sendiri sehingga menimbulkan berbagai masalah psikologis maupun fisiologis. Dalam ruang konseling di website ini, banyak pembaca yang mengatakan bahwa mereka sulit sekali mengungkapkan diri (mengatakan pendapat, perasaan, cita-cita, rasa marah, jengkel, dsb) kepada orang lain, bahkan tidak pernah berbagi informasi jika tidak diminta / ditanya. Hal yang menarik adalah mereka mengakui bahwa kondisi tersebut sangat tidak nyaman dan cenderung membuat mereka dijauhi oleh rekan atau pun anggota keluarganya sendiri. Meskipun di satu sisi mereka merasa ragu dan takut untuk mengungkapkan diri, namun di sisi lain mereka merasa bahwa hal tersebut sangat diperlukan untuk meringankan beban diri sendiri.

Menyikapi permasalahan diatas, maka kita perlu mengetahui mengapa pengungkapan diri perlu dilakukan dan mengapa, bagi sebagian individu, hal ini amat sulit untuk dilaksanakan. Pertanyaan mendasar adalah mengapa kita harus memberitahu orang lain tentang diri kita sendiri. Lalu bagaimana cara mengungkapkan diri secara tepat sehingga tidak menimbulkan penyesalan bagi diri sendiri dan menambah beban bagi orang lain.
Dasar Pemikiran

Pengungkapan diri atau "self disclosure" dapat diartikan sebagai pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan tersebut dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita, dan lain sebagainya. Pengungkapan diri haruslah dilandasi dengan kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan informasi, atau dengan kata lain apa yang disampaikan kepada orang lain hendaklah bukan merupakan suatu topeng pribadi atau kebohongan belaka sehingga hanya menampilkan sisi yang baik saja.

Untuk menjawab pertanyaan mengapa seseorang perlu memberitahu orang lain tentang dirinya sendiri, maka hal tersebut harus dilihat sebagai suatu siklus yang melibatkan 3 (tiga) hal yaitu pengungkapan diri, hubungan persahabatan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

*
Merupakan suatu hal yang sangat baik jika anda mengatakan kepada teman atau orang lain yang berinteraksi dengan anda bagaimana mereka dapat mempengaruhi anda. Dengan mengungkapkan perasaan dan berbagi pengalaman maka akan dapat semakin mempererat hubungan persahabatan.
*
Penerimaan teman atau orang lain akan memudahkan anda untuk dapat menerima kondisi diri anda sendiri.
*
Karena anda sudah dapat menerima diri sendiri dan merasa nyaman dengan kondisi tersebut, maka anda lebih mudah untuk mengungkapkan diri sehingga hubungan dengan teman anda terasa lebih menyenangkan.
*
Dengan adanya berbagai masukan dari orang lain, rasa aman yang tinggi, dan penerimaan terhadap diri, maka anda akan dapat melihat diri sendiri secara lebih mendalam dan mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup.

Meski diakui bahwa pengungkapan diri sangat penting bagi perkembangan individu, namun sebagian orang masih enggan untuk melakukannya. Pada dasarnya keengganan atau kesulitan individu dalam mengungkapkan diri banyak dilandasi oleh faktor risiko yang akan diterimanya di kemudian hari, di samping karena belum adanya rasa aman dan kepercayaan pada diri sendiri. Risiko yang dimaksud dapat berupa bocornya informasi yang telah diberikan pada seseorang kepada pihak ketiga padahal informasi tersebut dianggap sangat pribadi oleh si pemberi informasi, atau bisa juga informasi yang disampaikan justru menyinggung perasaan orang lain sehingga dapat mengganggu hubungan interpersonal yang sebelumnya sudah terjalin dengan baik. Selain itu pengungkapan diri pada orang atau kondisi yang tidak tepat justru akan menjadi bumerang bagi si pemberi informasi. Selain faktor risiko, faktor pola asuh juga berperan penting. Dalam keluarga atau lingkungan yang tidak mendukung semangat keterbukaan dan kebiasaan berbagi informasi maka individu akan sulit untuk bisa mengungkapkan diri secara tepat. Itulah sebabnya mengapa sebagian orang amat sulit berbagi informasi dengan orang lain, sekali pun informasi tersebut sangat positif bagi dirinya dan orang lain.

Meskipun pengungkapan diri mengandung risiko bagi si pelaku (pemberi informasi) namun para ahli psikologi menganggap bahwa pengungkapan diri sangatlah penting. Hal ini dasarkan pada pendapat yang mengatakan bahwa pengungkapan diri (yang dilakukan secara tepat) merupakan indikasi dari kesehatan mental seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mampu mengungkapkan diri secara tepat terbukti lebih mampu menyesuaikan diri (adaptive), lebih percaya pada diri sendiri, lebih kompeten, extrovert, dapat diandalkan, lebih mampu bersikap positif dan percaya terhadap orang lain, lebih obyektif dan terbuka (David Johnson, 1981; dalam mentalhelp.net). Selain itu para ahli psikologi juga meyakini bahwa berbagi informasi dengan orang lain dapat meningkatkan kesehatan jiwa, mencegah penyakit dan mengurangi masalah-masalah psikologis yang menyangkut hubungan interpersonal. Dari segi komunikasi dan pemberian bantuan kepada orang lain, salah satu cara yang dianggap paling tepat dalam membantu orang lain untuk mengungkapkan diri adalah dengan mengungkapkan diri kita kepada orang tersebut terlebih dahulu. Tanpa keberanian untuk mengungkapan diri maka orang lain akan bertindak yang sama, sehingga tidak tercapai komunikasi yang efektif.

Secara lebih lengkap manfaat-manfaat dari pengungkapan diri dapat disebutkan sebagai berikut:

*
Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness). Dalam proses pemberian informasi kepada orang lain, anda akan lebih jelas dalam menilai kebutuhan, perasaan, dan hal psikologis dalam diri anda. Selain itu, orang lain akan membantu anda dalam memahami diri anda sendiri, melalui berbagai masukan yang diberikan, terutama jika hal itu dilakukan dengan penuh empati dan jujur.
*
Membangun hubungan yang lebih dekat dan mendalam, saling membantu dan lebih berarti bagi kedua belah pihak. Keterbukaan merupakan suatu hubungan timbal balik, semakin anda terbuka pada orang lain maka orang lain akan berbuat hal yang sama. Dari keterbukaan tersebut maka akan timbul kepercayaan dari kedua pihak sehingga akhirnya akan terjalin hubungan persahabatan yang sejati.
*
Mengembangkan ketrampilan berkomunikasi yang memungkinkan seseorang untuk menginformasikan suatu hal kepada orang lain secara jelas dan lengkap tentang bagaimana ia memandang suatu situasi, bagaimana perasaannya tentang hal tersebut, apa yang terjadi, dan apa yang diharapkan.
*
Mengurangi rasa malu dan meningkatkan penerimaan diri (self acceptance). Jika orang lain dapat menerima anda maka kemungkinan besar anda pun dapat menerima diri anda.
*
Memecahkan berbagai konflik dan masalah interpersonal. Jika orang lain mengetahui kebutuhan anda, ketakutan, rasa frustrasi anda, dsb, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk bersimpati atau memberikan bantuan sehingga sesuai dengan apa yang anda harapkan.
*
Memperoleh energi tambahan dan menjadi lebih spontan. Harap diingat bahwa untuk menyimpan suatu rahasia dibutuhkan energi yang besar dan dalam kondisi demikian seseorang akan lebih cepat marah, tegang, pendiam dan tidak riang. Dengan berbagi informasi hal-hal tersebut akan hilang atau berkurang dengan sendirinya.

Beberapa Kiat

Bagi anda yang mengalami masalah dalam mengungkapkan diri kepada orang lain, ada 4 (empat) langkah yang dapat anda lakukan agar pengungkapan diri dapat berjalan efektif. Keempat langkah tersebut adalah:

Langkah 1: Tanyakan pada diri sendiri, sejauhmana saya akan membuka diri? Hal-hal apa yang bisa saya bagi dengan orang lain dan kepada siapa?

Setiap orang memiliki rahasia pribadi. Hal tersebut sangatlah normal karena setiap orang tentu ingin menjaga agar hal-hal khusus tidak perlu diketahui oleh orang lain. Sayangnya banyak rahasia yang sebenarnya justru tidak perlu dirahasiakan karena tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain, tetapi karena takut orang lain tidak memahami rahasia tersebut maka rahasia ini disimpan terus-menerus . Hal inilah yang harus diperhatikan oleh anda jika ingin mengungkapkan diri.

Langkah 2: Lakukan persiapan sebelum membuka diri. Atasi terlebih dahulu kekhawatiran dan ketakutan anda.

Untuk mengatasi kekuatiran, ketakutan atau ketidakpercayaan diri, anda dapat memulai pengungkapan diri dengan memilih topik pembicaraan pada hal-hal yang ringan dan santai. Contohnya: berbagi cerita tentang acara televisi atau film yang disukai, perawatan mobil/motor, kegiatan di sekolah atau kantor, dll. Pada awalnya usahakan untuk tidak mengutarakan berbagai perasaan atau opini pribadi. Jika tahapan ini sudah anda lalui dan berhasil dengan baik, barulah anda memilih orang yang dapat anda percayai untuk mengemukakan pendapat pribadi maupun perasaan anda tentang suatu hal, misalnya utarakan apa yang anda rasakan dan apa yang anda harapkan dari teman anda. Secara berangsur-angsur lakukan hal tersebut dengan beberapa yang berbeda. Dengan cara ini anda akan menjadi mudah untuk memulai komunikasi dan selanjutnya menjadi terbiasa dalam berbagi informasi.

Langkah 3: Tingkatkan terus ketrampilan anda dalam mengungkapkan diri. Pelajari cara-cara mengungkapkan diri dan bagaimana memberikan masukan yang bermanfaat.

Pengungkapan diri melibatkan cara-cara penyampaian informasi yang baik dan jelas sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman bagi orang yang menerima informasi tersebut. Jika anda ingin berbagi informasi maka kemukakan hal itu sejelas-jelasnya, hindari ketidakjujuran, kemukakan dengan bahasa sederhana dan jangan berbelit-belit. Jangan berasumsi bahwa orang lain akan memahami anda, mengetahui perasaan dan kebutuhan anda tanpa harus anda katakan. Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang dapat membaca pikiran anda. Jadi andalah yang harus mengatakan dan menjelaskan apa perasaan anda, apa kebutuhan anda saat ini dan apa yang anda harapkan dari orang lain. Jika ada hal-hal yang anda rasakan kurang jelas, bertanyalah pada saat ini dan jangan berasumsi.

Dalam mengungkapkan diri, secara tidak langsung sebenarnya anda juga memberikan masukan kepada orang lain dan sebaliknya. Oleh karena itu dalam memberikan berbagai masukan kepada teman (orang yang diberi informasi) anda perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

* Masukan yang diberikan tidak boleh bernada ancaman. Fokuskan pada permasalahan dan bukan pada kepribadian si lawan bicara.
* Fokus pada masalah yang sedang dibahas, jangan ngalur-ngidul ke masalah-masalah lain atau ke masa lalu
* Jangan memberi masukan jika tidak diperlukan, tidak mungkin dilaksanakan atau diterima, atau jika usulan tersebut sudah tidak berguna. Berikan hanya masukan yang benar-benar masuk akal, bersifat membangun dan tidak rumit.

Langkah 4: Ungkapkan diri anda secara tepat dengan pemilihan waktu dan situasi yang tepat pula.

Agar dapat mengungkapkan diri secara tepat pada waktu atau situasi yang tepat, perlu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

* Pertama-tama anda harus memiliki suatu alasan mengapa anda perlu membuka diri.
* Dengan siapa anda akan berbicara..teman dekat? orangtua? atasan? kenalan baru? atau siapa?
* Sejauhmana pengungkapan diri anda akan membahayakan diri anda sendiri?

Dengan mempertimbangkan ketiga hal tersebut maka anda akan dapat mengungkapkan diri secara tepat dan proporsional sehingga akan bermanfaat bagi diri anda dan orang lain. Bagi anda yang sangat sulit membuka diri kepada orang lain, maka akan sangat baik jika anda membuat semacam catatan kecil tentang hal-hal yang telah anda ungkapkan pada orang lain dan pengaruhnya terhadap perkembangan diri anda.

Mengingat kodrat manusia sebagai makhluk sosial dan dengan melihat berbagai manfaat yang akan diperoleh jika seseorang dapat mengungkapkan diri secara tepat, maka tidak ada pilihan lain bagi setiap individu selain belajar untuk dapat mengungkapkan diri. Ketidakmampuan untuk mengungkapkan diri akan sangat merugikan perkembangan jiwa individu yang bersangkutan. Meskipun demikian, keputusan untuk membuka diri dan berbagi informasi dengan orang lain haruslah dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Dengan melihat beberapa kiat diatas, individu diharapkan dapat memiliki kepercayaan diri dalam membuka diri bagi orang lain sehingga dapat tercipta hubungan interpersonal yang sehat. Bahwa dalam kenyataan pasti ada risiko yang harus ditanggung jika seseorang berani mengungkapkan diri kepada orang lain, misalnya informasi yang diberikan dimanipulasi oleh si penerima informasi, atau pun dikhianati oleh orang yang sangat dipercayai, tentu tidak dapat dipungkiri. Namun demikian dengan cara-cara yang bijak dan perencanaan yang baik maka hal itu pasti akan dapat dikurangi. Jika diambil persamaan maka pengungkapan diri sama saja dengan jatuh cinta: ada risiko yang harus ditanggung tetapi amat sulit untuk ditolak. Selamat mencoba.

seberapa kuat kita berkeyakinan

Berpuasa adalah suatu kewajiban bagi satu umat yang mengimani atau meyakini agama. Berpuasa secara lahir dan batin, tampaknya merupakan bagian dari kehidupan umat beragama dalam menjalankan keyakinannya. Yang jadi pertanyaan, apakah situasi ini memiliki implikasi "pentertiban" serta "pembersihan" segala sesuatu yang dianggap mengancam kelancaran menjalani keyakinan tersebut? Apa yang termasuk kategori "pengganggu"? Apakah suksesnya menjalankan keyakinan tersebut, tergantung dari faktor eksternal atau internal?

Dalam kerangka psikologi, maka locus of control apa yang bekerja pada diri atau umat yang menjalani suatu keyakinan? Internal atau eksternal? Setiap diri berada dalam kontinum yang bergerak dinamis antara internal dan eksternal. Tidak ada rumus baku dalam kategori insani, yang berlaku adalah kecenderungan yang relatif stabil hingga membentuk suatu atribusi. Ketika kita cenderung menyalahkan banyaknya jajanan yang berentet di tengah hari, maka locus of control eksternal lah yang mewujud.

Kita, di negeri yang beragam yang mengembar-gemborkan indahnya perbedaan tapi di waktu yang sama berusaha keras menggerus perbedaan itu. Iklan keindahan keberagaman masih dimanfaatkan sebagai mantra bius untuk melengahkan mereka yang berbeda dengan diri untuk kemudian diluluh-lantakan dengan mudah. Cara yang tidak ksatria tetapi ampuh dan efektif.

Berbicara keyakinan, seringkali bahkan "wajib" membawa serta kata toleransi. Bagaimana dengan keyakinan akan suatu keyakinan? Banyak sekali peristiwa yang berwarna anarkis demi menegakkan sebuah keyakinan diri yang jelas berbeda dengan keyakinan yang menjadi korban anarkis itu.

Coba kita renungkan:

Bulan puasa, maka restoran, cafe, warung makan, warung kopi, bar, diskotek, harus ditutup, dirazia. Bahkan ada satu tayangan di televisi ketika bulan puasa tahun lalu, razia di satu warung sangat sederhana oleh orang-orang berseragam di tengah hari, mereka merazia gelas-gelas yang telah siap dengan kopi untuk segera diseduh jika ada pembeli datang.

Pertanyaannya:

Siapa yang berpuasa? Berpuasa untuk siapa? Siapa yang menjadi Tuhan?

Gambaran itu tidak jauh berbeda dengan memori sebagian besar orang dewasa ketika baru belajar berpuasa. Pada suatu siang yang terik, kala seorang anak berusia 10 tahun berjuang menahan lapar, tiba-tiba sang adik yang berumur 5 tahun menjilati es krim tepat di depan mata. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain mengusir atau merazia es krim sang adik!

Apakah internalisasi seperti ini yang banyak membentuk fondasi sebagian dari diri kita dalam menjalani keyakinan hingga usia lanjut. Hal ini pula yang merasuki sikap dan perilaku dalam bab lain kehidupan, politik salah satunya. Memberangus semua yang berbeda menjadi jalan utama untuk menghidupkan api politik.

Melirik eksistensialis

Bukan agama, melainkan eksistensi menjalani agama, itu yang penting, demikian diungkapkan filsuf eksistensialis dari Denmark, Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855). Eksistensi menjadi suatu kewajiban dan tanggung jawab tiap diri. Dalam kehidupan, manusia mengalami tiga tingkatan yakni estetika, etis dan religiusitas sebagai eksistensi tertinggi.

Eksistensi estetika, menurut Kierkegaard ada pada tataran terendah di mana kenikmatan menjadi kuncinya. Ia menggambarkan Don Juan yang selalu menuntut terpenuhinya kepuasan dan kenikmatan. Prinsip ini pula yang Freud kemukakan sebagai Id yang berorientasi pada insting-insting dengan ciri pemenuhan kenikmatan. Tingkat berikutnya, eksistensi etis, saya melihatnya juga kurang lebih sebagai superego dalam bahasa Freud. Tataran etis ini telah melibatkan Other (Yang Lain/Liyan) sebagai tolak ukur.

Penulis sendiri sangat tertarik dengan eksistensi religius yang dikemukakan Kierkegaard sebagai eksistensi sebenarnya seorang anak manusia. Eksistensi itu hanya ada di hadapan Tuhan. Manusia menemukan eksistensinya dalam hubungan dengan Tuhan. Di hadapan Tuhan, individu menjadi diri itu sendiri. Bukan sebagai Direktur PT. A, bukan sebagai Profesor di Universitas Hebat, bukan, tetapi sebagai diri itu seutuhnya. Agaknya di sini pernyataan Jean-Paul Sartre (1905-1980) menemukan titiknya, ...other is hell.

Orang lain adalah neraka bagi eksistensi diri. Pertemuan dengan liyan berpotensi mematikan eksistensi diri individu. Tapi saya tidak setuju, karena liyan adalah pintu kemungkinan untuk diri keluar dari keterbatasan sebagai individu.

Kierkegaard meyakinkan bahwa dalam eksistensinya, manusia mendapatkan kebebasan. Manusia bebas memilih, menciptakan, menemukan, sekaligus bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Bertolak dari itu, maka pencarian dan pembentukan eksistensi menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan dalam kehidupan.

Self-disclosure

Berbagi informasi tentang diri sendiri merupakan salah satu bentuk komunikasi langsung. Bagi kultur masyarakat individualis, pengungkapan diri merupakan satu nilai terbesar yang dihayati, karena membuka kesempatan untuk menentukan pilihan sekaligus juga sarana untuk lebih mengenal orang lain. Namun bagi kultur masyarakat kolektif, adalah lebih penting untuk mengetahui afiliasi dan status seseorang ketimbang latar belakang atau perasaannya.

Dalam studinya, Derlega & Stepien (1977 dalam Smith & Bond,1993) membandingkan self-disclosure antara negara kolektif (Hong Kong, Taiwan & Jepang) dan individualis (Amerika Serikat), terdapat perbedaan signifikan dalam self-disclosure di dalam in-group dan out-group bagi masyarakat kolektif. Sementara di masyarakat individualis, tidak terdapat perbedaan signifikan.

Studi tersebut memang dilakukan kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu. Namun penulis masih melihat sebagai penjelasan yang signifikan di era sekarang, terutama untuk Indonesia. Merujuk studi tersebut, status seseorang lah yang lebih diperhatikan dalam relasi di masyarakat, bukan sejarah atau perasaan yang sedang ada. Penjelasan ini menambah pemahaman, mengapa mudah sekali terjadi konflik dan prasangka antar umat agama. Yang langsung ditangkap bagi kita adalah "perbedaannya" tidak terlalu penting cerita di balik itu apalagi perasaan mereka yang di luar kelompok meski sebagai sesama manusia.

Pertanyaannya, mengapa terlihat ironis, terjadi di negara atau masyarakat kolektif? Jika ditelusuri lebih dalam, sebenarnya juga tidak terlalu kontradiksi. Masyarakat yang mengutamakan kelompok atau harmonisasi kelompok, lebih peka dan membutuhkan kelompok lain yang mampu membedakan antara kelompoknya dan kelompok lain. Maka status, nama atau penanda lain menjadi begitu mudah tertangkap oleh diri, yang sayangnya seringkali mengaburkan nilai-nilai universal kemanusiaan.

Pada masyarakat individualis, bukan berarti tidak terdapat in-group - out-group, namun penekanan individu lebih menonjol. Maka, yang hubungan interpersonal menjadi tema yang coba dimaksimalkan. Self-disclosure menjadi salah satu pintu komunikasi langsung untuk menyatakan diri dan mengenal diri orang lain. Perahu kelompok tidak terlalu mendominasi, tiap individu membawa dirinya masing-masing dalam relasi kehidupan.

Apa itu toleransi?

Walzer (1997), menuliskan bahwa toleransi dipahami sebagai suatu sikap atau pemikiran, yang tergambar dalam sejumlah kemungkinan, yakni; (1) toleransi beragama: menerima perbedaan demi terciptanya perdamaian; (2) pasif, rileks, ramah terhadap perbedaan meski tidak menyukai atau tertarik, "It takes all kinds to make a world"; (3) moral yang tenang: suatu prinsip yang bahwa pihak atau orang lain pun tetap mempunyai hak sekalipun mereka melakukan haknya dengan cara kurang yang menyenangkan; (4) terbuka pada orang lain: adanya rasa ingin tahu atau lebih pada sikap menghargai, adanya kemauan untuk mendengar dan mempelajari; (5) antusias dalam mendukung perbedaan.

Pada nomor berapa tepatnya toleransi yang kita jalani? Apakah kita menghayati pula pemahaman toleransi no 4 dan 5 ? Melihat tingkat "ketersinggungan" dan sensitivitas fanatis, saya rasa kita baru pada toleransi "asal tidak mengganggu". Bukan cerita di balik perbedaan yang menarik, tetapi "anda silahkan berbeda, tapi jangan tanya-tanya apalagi mengkritisi saya". Akhirnya, yang terjadi adalah tarik menarik tiap kelompok meminta untuk dihargai, dimengerti, ditoleransikan. Sikap menuntut, perilaku memaksa sadar atau tidak sadar.

Kita dalam eksistensi?

Wajarkah mengamuk pada pihak yang dianggap bertanggung jawab "menghalangi" bahkan "berpotensi mematikan" eksistensi kita? Ketika kita menuntut pihak lain untuk menghormati diri kita, sadarkah bahwa kita juga menyatakan ketidaksanggupan diri untuk menjalankan keyakinan diri? Ingatkah kita di balik baju mereka yang berbeda warna, mereka adalah liyan yang mampu menjadi kemungkinan bagi ketidakmungkinan diri kita? Pernahkah terbayang bahwa kita yang ketika itu memposisikan diri sebagai "orang suci" dan "penghakim" berpeluang sama besar untuk menjadi mereka yang saat itu kita stempel sebagai setan?

Seiring dengan usia bangsa yang telah menggaungkan kebinekaan, akan sampai kapan kita menunda nilai itu meresap dalam diri kita?

Kembali pertanyaan siapa yang menjalani keyakinan, menjadi krusial. Kemandirian menjalaninya menjadi sesuatu yang kabur. Kelucuan tidak terasa, ketika diri harus menahan godaan untuk tidak makan atau minum, tidak melakukan kegiatan yang "dipuasakan", maka cara yang diambil adalah dengan menghilangkan seluruh objek godaan itu. Lalu, apa yang ditahan?

Evaluasi & merombak pembelajaran

Kita perlu mencari model pembelajaran lain yang lebih bisa menanamkan pemahaman - right / correct reasoning dalam diri sejak dini, tentang mengapa manusia perlu melatih kekuatan internalnya, hingga hampir di setiap agama memiliki aturan menahan diri. Apakah bisa menjadi evaluasi diri, bahwa "pemaksaan" meski dengan iming-iming reward ketika masa kecil, menjadi pola belajar yang efektif untuk meningkatkan internal locus of control?

Penanaman pemahaman lah yang bisa membentuk "kemandirian diri" sejak dini; diri yang tidak melihat liyan sebagai "musuh" yang perlu dihancurkan. Cobalah kita belajar mengamati, merenungkan dari rekaman pengalaman serta kejadian masa kecil yang terus berlangsung dalam kehidupan ini, dalam wujud yang berbeda. Memang kelihatannya sepele, namun berpeluang besar untuk menumbuhkan toleransi dalam makna yang sesungguhnya. Toleransi yang bermodal pemahaman, bukan toleransi yang bernada "tak acuh" atau "asal tidak mengganggu".

Maka, kapan lagi, jika tidak mulai sekarang kita membuka diri untuk bisa memahami keyakinan orang lain yang berbeda dari keyakinan kita?

Percayakah kita bahwa interaksi itu berlangsung timbal balik, bukan satu arah panah? Maukah kita mewujudkannya?

Selasa, 09 Desember 2008

Kecanduan Cinta

Istilah kecanduan cinta mungkin bukan istilah yang umum terdengar. Istilah yang sudah umum beredar seperti kecanduan minum, alkohol, narkoba, rokok, kerja, dan lain sebagainya. Meski pun "barang"nya cinta, bukan berarti aman-aman saja bagi pecandunya dan tidak membawa dampak apapun juga. Justru, dampak dari kecanduan cinta ini sama buruknya untuk kesehatan jiwa seseorang. Buktinya, sudah banyak kasus bunuh diri atau pembunuhan yang terjadi akibat kecanduan cinta meski korban maupun pelaku sama-sama tidak menyadarinya... Nah, artikel di bawah ini akan mengulas sekelumit hal-hal yang berkaitan dengan kecanduan cinta.

Kecanduan Psikologis

Di dalam masyarakat sudah banyak sekali kesalahan dalam mempersepsi atau mengartikan cinta sejati dengan cinta yang bersifat candu. Berbagai film, sinetron, atau pun lagu-lagu turut andil dalam menyaru-kan kondisi kecanduan cinta dengan cinta sejati. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam pengertian yang keliru antara kecanduan cinta dengan cinta sejati. Contoh ekstrimnya, ada orang yang bunuh diri karena ditinggal pergi kekasih - dan orang menilai bahwa cerita ini mencerminkan kisah cinta sejati.

Tanda-Tanda

Pada umumnya individu yang mengalami kecanduan cinta menunjukkan tanda-tanda:
1. Adanya pikiran obsesif, misalnya terus-menerus curiga akan kesetiaan pasangan, terus- menerus takut ditinggalkan pasangan sehingga selalu ikut ke mana pun perginya sang kekasih/pasangan.
2. Selalu menuntut perhatian dari waktu ke waktu, tanpa ada toleransi dan pengertian.
3. Manipulatif, berbuat sesuatu agar pasangan mengikuti kehendaknya/memenuhi kebutuhannya, misalnya: mengancam akan memutuskan hubungan jika mementingkan hobi-nya.
4. Selalu bergantung pada pasangan dalam segala hal, apapun juga, mulai dari minta pendapat, mengambil keputusan sampai dengan memilih warna pakaian.
5. Menuntut waktu, perhatian, pengabdian dan pelayanan total sang kekasih/pasangan. Jadi, pasangan tidak bisa menekuni hobi-nya, jalan-jalan dengan teman-teman kelompoknya, atau bahkan memberikan sebagian waktunya untuk orang tua/keluarga.
6. Menggunakan sex sebagai alat untuk mengendalikan pasangan.
7. Menganggap sex adalah cinta dan sarana untuk mengekspresikan cinta.
8. Tidak bisa memutuskan hubungan, meski merasa amat tertekan karena “berharap” pada janji-janji surga pasangan.
9. Kehilangan salah satu hal terpenting dalam hidup, misalnya pekerjaan atau keluarga inti demi mempertahankan hubungan.
Jadi, tidak ada istilah "puas" dalam setiap hubungan yang terjalin antara orang yang kecanduan cinta dengan pasangannya; ibaratnya seperti mengisi gelas bocor yang tidak pernah bisa penuh jika diisi, karena begitu airnya dituang lantas langsung keluar lagi dan airnya tidak pernah luber. Demikian juga orang kecanduan cinta, mereka tidak pernah mampu membagikan cinta secara tulus pada orang lain karena selalu merasa kehausan cinta. Oleh sebab itu, banyak di antara mereka yang sering berganti pasangan karena merasa harapan mereka tidak dapat dipenuhi sang kekasih. Padahal, meski puluhan kali mereka berganti pasangan, individu yang kecanduan cinta akan sulit membangun hubungan yang stabil dan abadi. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak sadar, bahwa sumber masalah justru ada pada diri sendiri - mereka lebih sering menyalahkan mantan-mantan kekasihnya/pasangannya.


Penyebab

Sebenarnya, kecanduan cinta itu adalah kecanduan yang bersifat psikologis karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis (seperti kasih sayang, perhatian, kehangatan dan penerimaan seutuhnya) di masa kecil. Menurut Erik Erikson - seorang pakar perkembangan psikososial, orang yang pada masa batita-nya tidak mengalami hubungan kelekatan emosional yang stabil, positif dan hangat dengan lingkungannya (baca: orangtua dan keluarga), akan sulit mempercayai orang lain - bahkan sulit mempercayai dirinya sendiri. Selain itu, trauma psikologis yang pernah dialami seperti penyiksaan emosional dan fisik pada usia dini, atau menyaksikan sikap dan tindakan salah satu orang tua yang agresif dan kasar terhadap pasangan, dapat menghambat proses kematangan identitas kepribadian dan kestabilan emosinya. Pemandangan dan pengalaman tersebut kelak berpotensi mempengaruhi pola interaksinya dengan orang lain.


Keterbatasan respon/ perhatian dari lingkungan pada waktu itu, dipersepsi olehnya sebagai suatu bentuk penolakan; dan penolakan itu (menurut pemahaman seorang anak) disebabkan kekurangan dirinya. Nah, pada banyak orang, masalah ini rupanya tidak terselesaikan dan akibatnya, sepanjang hidup ia berjuang untuk mengendalikan lingkungan atau orang-orang terdekat supaya selalu memperhatikannya. Orang demikian berusaha membuat dirinya diterima dan dimiliki oleh orang lain - meski harus "mengorbankan" diri. Orang ini begitu cemas dan takut jika kehilangan orang yang selama ini memilikinya; karena perasaan “dimiliki” ini identik dengan harga dirinya - dan sebaliknya ia akan kehilangan harga diri jika kehilangan pemilik.


Dampak

Akibat kecanduan cinta bisa dirasakan secara langsung oleh yang bersangkutan, karena orang itu tidak dapat menikmati hubungan yang terjalin karena pikiran dan perasaannya selalu diliputi ketakutan. Dan tidak jarang ketakutan tersebut makin tidak rasional dan melahirkan tindakan yang tidak rasional pula, misalnya tidak memperbolehkan pasangannya pergi kerja karena takut direbut orang.

Bagi Individu Bersangkutan

Akibat jangka menengah dan jangka panjang adalah individu yang bersangkutan akan berada dalam kondisi emosi yang labil dan menjadi terlalu sensitif. Individu tersebut mudah curiga pada teman, sahabat, kegiatan, pekerjaan, bahkan keluarga pasangannya. Selain itu ia menjadi mudah marah, cepat tersinggung dan bagi sebagian orang bahkan ada yang bertindak agresif dan kasar demi mengendalikan keinginan dan kehidupan pasangannya. Pasangannya tidak diijinkan untuk punya agenda tersendiri; pokoknya harus mengikuti keinginannya dan 100% memperhatikannya. Individu tersebut juga mudah merasa lemah, lelah dan lemas. Pasalnya, seluruh energinya sudah dipergunakan untuk mengantisipasi ketakutan yang tidak beralasan dan melakukan tindakan untuk menjaga pertahanannya. Nah, kehidupan demikian membuat dirinya menjadi manusia tidak produktif. Sehari-hari yang dipikirkan dan diusahkan hanyalah bagaimana supaya “miliknya terjaga”.

Bagi Pasangan

Banyak orang yang tidak sadar kalau dirinya terlibat dalam pola hubungan yang addictive sampai akhirnya ia merasa stress, tertekan namun tidak berani/takut/tidak berdaya untuk memutuskan hubungan yang sudah berjalan beberapa waktu. Bagi sebagian orang yang cukup sadar dan mempunyai kekuatan pribadi, ia akan berani mengambil sikap tegas dalam menentukan arahnya sendiri. Namun, banyak pula orang yang “memilih” untuk tetap dalam lingkaran demand-supply tersebut karena ternyata dirinya sendiri juga mengalami masalah dan kebutuhan yang sama. Jika demikian halnya, maka hubungan yang ada bukannya mengembangkan dan mendewasakan kedua belah pihak, namun malah semakin memperkuat ketergantungan cinta keduanya. Situasi ini lah yang sering dikaburkan dengan hubungan yang romantis dan cinta buta.

Penanggulangan

Menurut para ahli psikologi dan kesehatan mental, salah satu syarat utama untuk dapat menjalin hubungan yang sehat dan sekaligus menjalani kehidupan yang produktif adalah mempunyai kesehatan mental yang sehat dan identitas diri yang solid. Kondisi positif demikian akan menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat sehingga orang tersebut tidak membutuhkan dukungan dan pengakuan orang lain untuk memperkuat sense of self-nya. Jadi, untuk mengembalikan seseorang pada bentuk hubungan yang sehat, langkah awal yang diperlukan adalah memperkuat pribadinya terlebih dahulu. Dengan meningkatkan sumber kekuatan psikologis secara internal, akan mengurangi ketergantungannya pada kekuatan eksternal. Orang itu harus merasa aman dan percaya dengan dirinya sendiri untuk bisa merasa aman dalam setiap jalinan hubungan dengan orang lain. Ada kalanya, orang-orang demikian membutuhkan bantuan para profesional untuk membimbing dan mengarahkan mereka membangun pribadi yang positif.

Termasuk Narsiskah Anda

Pengertian Narsisme
Termasuk narsiskah kalau kita suka memajang foto-foto kita bersama pejabat, artis, tokoh agama, atau kelompok publik figur lain di ruang kerja atau di ruang tamu? Termasuk narsiskah kalau kita menaruh foto kita dan keluarga di desktop komputer di kantor? Termasuk narsiskah kalau kita mengkalungkan aksesoris keagamaan, seperti tasbih, salib, atau lainnya, di mobil atau di leher? Termasuk narsiskah kalau kita kemana-mana mendeklarasikan kesuksesan yang kita raih selama ini?

Kalau melihat definisinya Otto Kernberg (Borderline Condition and Pathological Narcissism: 1975), ternyata jawabannya tidak se-hitam-putih seperti yang selama ini berlaku. Itu bisa narsis dan bisa tidak, tergantung motif dan "nawaitu-nya" (untuk apanya). Menurut Kernberg, narsis itu mencakup berbagai kombinasi dari upaya seseorang dalam mendemonstrasikan ambisi, fantasi-kemewahan, rasa rendah diri, atau kebergantungan secara berlebihan terhadap pengakuan dan penghormatan dari orang lain.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narsisme didefinisikan ke dalam pengertian yang sangat terkait dengan mitos di Yunani Kuno. Seorang dewa Narcis yang tampan rupawan terkena kutuk karena ulahnya yang kurang empatik dalam menolak cinta Dewi Eco. Akhirnya, meski ganteng, tak satu pun perempuan yang mencintainya. Narcis kemudian berkaca di air dan melihat dirinya sendiri yang tampan itu. Jadilah dia mencintai dirinya sendiri. Karena itu, dalam Kamus itu, narsis adalah hal / keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan, mempunyai kecenderungan seksual dengan diri sendiri.

Jadi, termasuk nariskah bila kita melakukan hal-hal di muka? Kalau mengacu ke literaturnya, itu akan termasuk narsis apabila motif yang mendorong kita adalah rasa takut, rasa kurang, atau rasa kosong, dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pemenuhan dari luar (orang lain). Misalnya saja kita sangat takut dikatakan orang miskin. Supaya ini tidak terjadi maka kita menciptakan berbagai modus untuk mengelabuhi diri sendiri dan orang lain agar dibilang orang kaya, orang hebat, atau orang terpandang. Narsisme seperti ini dalam kajian literaturnya dimasukkan ke dalam apa yang disebut personality disorder.

Namun jika motif dan tujuannya tidak seperti itu, mungkin saja tidak. Misalnya kita menaruh foto sukses biar kita termotivasi saat mulai depresi. Kita menceritakan kesuksesan agar orang lain bisa mengambil pelajaran dari pengalaman kita. Dan lain-lain dan seterusnya. Ini mungkin yang membuat Andrew Marisson (The Underside of Narcissism: 1997), berkesimpulan bahwa masih ada narsis yang sehat (healthy narcissism).

Lima Tipe Narsisme
Inti dari narsisme adalah penolakan seseorang terhadap realitas dirinya secara tidak sehat (berbohong kepada diri sendiri), denial of the true self, kata Alexader Lowen. Penolakan ini kita wujudkan dalam bentuk rasa cinta berlebihan terhadap bayangan yang kita ciptakan terhadap diri sendiri (self-excessive love based on self image or ego ).

Misalnya saja kita tidak bisa menerima realitas diri kita di kantor sebagai karyawan. Kita kemudian menciptakan bayangan tentang diri sendiri seolah-olah kita adalah pemilik, orang paling dipercaya, atau orang paling hebat di kantor itu. Karena bayangan ini tidak / belum ada bukti pada diri kita, tentunya kita ingin mendapatkan pengakuan atau penghormatan dari pihak luar. Keinginan itulah yang kerap membuat kita terlalu menonjolkan diri.

Dalam kajian Alexader Lowen, seperti ditulisnya dalam Narcissism, Denial of The True Self (1997), ada lima tipe narsisme itu, yaitu:
Phallic Narcissistic character: Orang dengan karakter Phallic Narcissitic menginvestasikan energinya untuk merayu dan menarik perhatian. Cirinya antara lain: pede, arogan, elastik, menunjukkan kehebatan, dan seringkali sangat memukau.
Narcissistic character. Orang dengan karakter narsis, dikatakan punya image hebat dan dasyat tentang dirinya. Meminjam istilah Lowen, they are not just better, they are the best; they are not just attractive, they are the most attractive. Dalam kenyataannya, ada kasus-kasus di mana orang berkarakter narsis ini memang sukses, top, popular dan berprestasi karena dia mampu "bermain dengan baik" di panggung kehidupan. Tapi biar bagaimana pun juga, tetap saja image -nya lebih besar dari orang-nya.
Borderline personality. Orang ini tidak nyata-nyata mendemonstrasikan kesuksesan, kehebatan, yang bisa saja didukung oleh prestasi riil; karena kekuatan ego nya lebih lemah, malah kerapkali di dominasi rasa minder, merasa rapuh, tidak mampu, di liputi keraguan yang besar. Perasaan hebat dan spesial nya di simpan di dalam diri, jadi seperti memutar dan menonton film sendiri.
Psychopathic personality: Orang dengan tipe ini dikatakan extreme lack of human fellow feeling - atau bahasa gaulnya no heart feeling, karena bisa mencuri, berbohong, menipu, merusak, bahkan membunuh dengan santai, tanpa dibebani rasa bersalah, atau takut jika ketahuan.
Paranoid personality. Orang dengan tipe ini merasa dirinya begitu istimewa sampai-sampai tidak hanya menjadi pusat perhatian, plus jadi sasaran konspirasi orang-orang yang tidak suka padanya.

Apa Yang Menyebabkan ?
Apa ada orang yang benar-benar bersih dari kelima tipe narsisme di atas? Kalau benar-benar bersih mungkin terlalu sangat sulit ditemukan. Hampir pada diri semua orang ada narsisme-nya. Bedanya, ada yang terang-terangan dan ada yang disembunyikan. Ada yang masih wajar dan ada yang sudah tidak wajar. Ada yang masih tahu tempat dan waktu, dan ada yang sudah menyatu dengan kepribadian yang dibawa kemana-mana.

Bedanya lagi, menurut Lowen, adalah soal degree atau skala penonjolan kehebatan-diri. Mungkin ada yang masih wajar dalam arti belum sampai membuat seseorang keliru dalam memandang dirinya atau belum sampai pada tingkat yang sudah bisa mengundang kebencian orang lain dan ada yang sudah kebablasan.

Berbicara soal sebab-sebabnya, hampir tidak ditemukan sebab yang single untuk persoalan yang terkait dengan "ketidaknormalan" jiwa manusia. Karena itu, kalau melihat ke literaturnya, sebab-sebab itu selalu dikelompokkan ke dalam dua sebab induk, yaitu sebab personal (psikologis), yang berarti terkait dengan bagaimana kita mengelola jiwa kita (internal management).

Cerita Malin Kundang menggambarkan bagaimana seseorang merefleksikan dirinya setelah melihat realitas di luar dirinya yang baru. Misalnya saja dia berangkat dari kampung ke kota sebagai orang yang semula bukan siapa-siapa tetapi kemudian di kota dia menjadi sosok yang who is who. Perubahan ini membuat dia narsis dalam arti menonjolkan kehebatan-diri secara berlebihan dan mengukur orang lain dari definisi kehebatan yang ia ciptakan berdasarkan fantasinya sendiri. Sampai-sampai ibunya sendiri tidak diterima karena tidak hebat dan tidak kren.

Selain sebab personal, ada sebab yang disebut kultural atau sebab-sebab yang muncul dari faktor eksternal. Termasuk sebab eksternal adalah pola asuh yang diterima dari kecil. Sebuah keluarga yang mendefinisikan orang secara ekstrim (keluarga, tamu, tetangga, dst) dari sisi kaya-miskin, mewah-tidak mewah, atau menutupi kekurangan dengan cara mengelabuhi, akan sangat berpotensi melahirkan pribadi yang narsis. Bahkan, mengistimewakan kedudukan anak di atas yang lain atas nama budaya dan tradisi, itu ibaratnya menabur bibit narsis.

Termasuk sebab eksternal juga adalah lingkungan dimana kita berada. Tempat kerja, komunitas pergaulan atau masyarakat tertentu yang mendewakan budaya hedonisme (serba harus keren, mewah, dan serba materi) sangat mungkin mempengaruhi kita menjadi narsis. Jangan heran kalau misalnya kita punya teman yang gaya hidupnya berubah karena lingkungan pergaulannya berubah.

Secara hukum alamnya, sebab-sebab eksternal (keadaan dan orang lain) itu hanya sebagai pendukung atau pemicu atas munculnya kepribadian yang narsis. Artinya, lingkungan atau pola asuh tidak bisa dijadikan single predictor. Ini karena, yang menjadi penyebab-penentu (the most determinant factor) adalah sebab internal atau diri kita.

Solusi Dari Dalam
Kalau melihat clue-nya, narsisme (unhealty narcissism) itu terkait dengan sedikitnya tiga isu kejiwaan yang sangat mendasar. Pertama, terkait dengan bagaimana kita meresponi suara penolakan diri atau denial of the self karena tidak puas terhadap diri sendiri (dissatisfaction).

Sebenarnya, rasa tidak puas terhadap diri sendiri akan positif kalau kita gunakan untuk memperbaiki diri atau memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut "learning, growing, improving". Jika kita sudah kehilangan dorongan untuk berubah, berarti proses learning-nya sudah berhenti dan ini sangat membahayakan.

Tapi akan negatif kalau itu kita gunakan untuk melakukan pertengkaran dengan diri sendiri (konflik diri) sampai membuat jiwa kita kosong (feeling of empty), kurang (feeling of lack), dan takut (feeling of fear). Ini semua akan mendorong kita menempuh modus untuk mengelabuhi diri sendiri supaya bisa mengelabuhi orang lain dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari fantasi yang kita ciptakan.

Kedua, terkait dengan bagaimana kita menutupi kekurangan, entah kurang kaya, kurang kompeten, kurang keren, kurang mewah, dan seterusnya. Adanya rasa kurang pun ciptaaan Tuhan. Rasa kurang ini bisa kita gunakan untuk menjadi orang yang tawadlu (rendah hati), dekat sama Tuhan atau juga bisa kita gunakan sebaliknya.

Jika rasa kurang itu mendapatkan respon positif, pasti yang akan muncul adalah motivasi plus, misalnya dorongan untuk penyempurnaan, dorongan untuk mengakui kehebatan orang lain, dorongan untuk berubah, dan seterusnya. Tapi bila responnya negatif, akan sangat mungkin memunculkan motivasi minus, misalnya arogan tanpa alasan, membohongi orang lain untuk menutupi kekurangan, dan seterusnya.

Ketiga, terkait dengan sejauhmana kita melatih diri dalam mendengarkan suara naluri universal. Meski teorinya agak sulit membedakan prilaku yang narsis dan yang bukan, tetapi semua manusia punya naluri universal yang bertugas menerima kebaikan dan menolak kejelekan, entah dari perbuatan kita sendiri atau dari perbuatan orang lain. Kesombongan, penjolan diri berlebihan, atau penipuan diri itu pasti ditolak oleh naluri universal manusia.

Artinya, sejauh kita melatih diri untuk mendengarkan naluri universal kita, pasti kita akan lebih mudah "mengobati" benih-benih penyakit narsisme di dalam diri kita. Untuk bisa mendengarkan, syaratnya adalah jangan terlalu lama atau selalu mendengarkan suara dari luar. Idealnya, kita seimbang dalam mendengarkan suara dari dalam dan suara dari luar.

Kesimpulan
Narsisme dalam konteks perilaku, merupakan manifestasi dari pengingkaran diri (denial of the self). Tercermin dalam sikap penonjolan diri yang bersumber dari respon negatif terhadap ketidakpuasan, kekurangan, atau kehampaan di dalam jiwa. Perasaan miskin dan kosong ini, mendorong "pencarian dan perburuan" pengakuan, kepuasan, pujian, perhatian, dsb dengan cara yang tidak sehat.

Sebelum ada akibat buruk pada / dari orang lain, misalnya kebencian, penolakan, atau yang lain, lebih dulu perilaku ini berakibat buruk pada diri sendiri. Tidak akurat dalam menilai diri dapat membuat kita salah mengambil keputusan untuk diri kita. Akibatnya, kalau tidak mandek ya salah jalan.

Hampir tidak ada jiwa manusia yang tidak ada potensi narsisme-nya. Karena itu, kita semua punya kepentingan untuk memperbaiki diri supaya lebih baik selalu. Dan ini bisa kita mulai dari sekarang juga sesuai keadaan dan kemampuan kita.

Cara-cara Memelihara Persahabatan

Kita semua tentu punya alasan sendiri kenapa memilih untuk membangun persahabatan. Pada umumnya, hubungan itu timbul karena perasaan yang merasa ada keterikatan (attachment): senasib sepenanggungan, sevisi, seminat, dan seterusnya dan seterusnya. Atau ada juga yang karena kesaling-bergantungan (interdependence): membutuhkan bantuan, dukungan, dan lain-lain.
Dalam prakteknya, persahabatan itu kita bedakan dengan pertemanan. Perbedaan yang paling menonjol terletak pada intensitas keterlibatan emosi dan komitmen. Karena itu, terkadang tidak cukup kita mengatakan "friend" untuk menyebut seorang sahabat, tetapi masih kita tambah dengan kata sifat "close friend". Kalau mengacu ke teori hubungan antar pribadi menurut Verderber & Verderber (Hanna Djumhana Bastaman, M.Psi, 1996) persahabatan itu mungkin istilahnya adalah Deep Friendship. Berdasarkan skala intimasi dan komitmen yang muncul, hubungan antar pribadi itu dikelompokkan menjadi seperti berikut ini:
1. Aquintance Relationship (perkenalan biasa)
2. Friendship Relationship (pertemanan karena kesamaan minat, sifat, dan kepentingan).
3. Role Relationship (hubungan berdasarkan peranan atau kepentingan)
4. Deep Friendship or Intimate Relationships (Hubungan yang sudah melibatkan emosi dan komitmen)
Dari bukti-bukti di lapangan ditemukan bahwa persahabatan yang bagus itu punya banyak manfaat. Salah satunya adalah bisa mencegah hipertensi (Reardom, Interpersonal Communication: Where Minds Meet, 1987). Secara kesehatan dijelaskan bahwa hipertensi adalah tekanan darah atau denyut jantung yang lebih tinggi dari yang normal karena ada penyempitan pembuluh darah atau karena sebab lain. Bisa juga berguna untuk menurunkan dan mengurangi potensi stress atau depresi.
Misalnya saja Anda saat ini sedang belajar di lembaga pendidikan yang menerapkan disiplin tegas. Namanya disiplin, pasti maksudnya baik. Cuma, dalam eksekusi di lapangannya, pasti juga ada kemungkinan munculnya penyimpangan prosedur oleh individu yang tak jarang menimbulkan tekanan, ketegangan, atau himpitan. Dengan memiliki cantolan klub, forum, atau kelompok yang tingkat persahabatannya bagus, itu akan bisa membuat kita lebih sabar dan terhibur.
Kalau melihat temuan Maslow, ternyata salah satu karakteristik self-actualized person itu adalah punya sahabat atau kenalan yang jumlahnya sedikit namun berbobot intimasi dan kualitasnya (Human Development, Vander Zender, 1989). Ini mungkin bisa kita tafsirkan bahwa mereka itu punya sahabat atau orang dekat. Tafsiran ini memang seringkali sinkron dengan realitas yang kerap kita temui di lapangan. Banyak 'kan kita mengenal sejumlah tokoh atau orang-orang tertentu yang berprestasi di bidangnya (di semua level) yang ternyata dulu mereka bersahabat dengan orang-orang tertentu dan persahabatan itu berlangsung sampai sekarang.
Bahkan, kata orang, Tuhan itu kalau mengangkat derajat seseorang jarang secara individu. Tuhan itu mengangkat derajat seseorang sekaligus dengan kelompoknya. Ini tentu refleksi personal yang subyektif. Tapi memang secara rasional, ungkapan itu ada rujukannya. Karena mereka yang bersahabat itu membangun kedekatan lahir dan batin, sudah barang tentu mereka punya mindset yang sama, kultur hidup yang sama, atau karakter yang sama. Logikanya, ketika orang sudah dibentuk oleh prinsip-prinsip yang sama, maka sangat mungkin mereka mendapatkan nasib yang sama.

"Isi pikiranmu membentuk tindakanmu, tindakanmu membentuk kebiasaanmu, kebiasaanmu membentuk karaktermu, karaktermu membentuk nasibmu."
(Aristotle)
Jadi, yang menyebabkan mereka punya kesamaan nasib, bukan kesamaan kelompoknya, melainkan kesamaan isi pikiran, tindaan, kebiasaan, dan karakter.


Dalam prakteknya, persahabatan itu bisa kendor dan bisa pula pecah. Secara umum, kendornya intimasi persahabatan itu mulai muncul ketika masing-masing atau salah seorangnya sudah punya kepentingan dan kebutuhan yang ditandai dengan berubahnya status. Misalnya saja dari mahasiswa ke pekerja atau dari bujangan ke ber-rumahtangga, dari orang biasa ke orang penting.
Kalau menurut ucapannya Sigmund Freud, orang dewasa itu isi pikirannya yang paling dominan hanya dua: to love and to work. Mereka berkonsentrasi pada keluarga (to love) dan kerjaannya (to work). Kohesi persahabatan yang terjadi pada kehidupan orang dewasa biasanya adalah lanjutan dari persahabatan sebelumnya atau karena kepentingan dan kondisi yang dirasakan sangat spesifik (benar-benar senasib).
Ini kerap terjadi pada tenaga kerja atau pelajar di luar negeri. Karena sama-sama senasib, sama-sama dari Indonesia, sama-sama punya kepentingan yang sama, dan merasakan keadaan yang relatif sama, maka persahabatan terbentuk. Tapi, menurut kebiasaan, persahabatan yang terbentuk ketika usia seseorang sudah banyak kepentingan, memang rasanya beda dengan ketika seseorang masih di usia remaja atau dewasa muda.
Nah, lalu kapan persahabatan akan terancam bubar? Masalah yang melatarbelakangi bubarnya persahabatan itu pasti bermacam-macam. Menurut Duck (1985), biasanya fase-fase bubarnya hubungan (disolusi) itu diawali dari proses di bawah ini:
1. Ketidakpuasan dari hubungan itu. Misalnya saja kita menerima perlakuan yang tidak fair, atau persahabatan yang ada tidak membuahkan hasil-hasil tertentu seperti yang semula dibayangkan. Misalnya saja persahabatan karena narkoba.
2. Upaya menarik diri. Kita sudah merasa tidak cocok lagi atau ada keinginan untuk menentang atau juga kita menarik diri. Bisa juga setelah kita menghitung untung-rugi, manfaat-keuntungan.
3. Mempraktekkan keputusan unuk menghindar atau menjauh
Bisa juga disolusi itu terjadi sesuai dengan urutan yang ditemukan Hawk Williams (The essence of managing group & teams, 1996) berikut ini:
1. Ada problem yang kita jumpai (menurut versi kita) pada dia
2. Kita membiarkan / tidak menunjukkan problem itu kepada orang yang kita anggap punya masalah dengan kita
3. Problem itu tetap muncul atau terus bertambah
4. Perasaan negatif terus menggunung / mengakumulasi
5. Kita kehilangan perspektif tentang orang itu.
Dalam organisasi kepemudaan yang rata-rata kita lihat mereka bersahabat, urutan di atas kerap terjadi. Si A dipandang telah sering melakukan tindakan yang melanggar prinsip dasar organisasi. Karena bersahabat, mereka tidak langsung menegur atau mengingatkan secara terang-terangan. Si A sendiri tidak sensitif menangkap gelagat ketidaksetujuan para sahabatnya. Proses ini terus berlanjut dan masing-masing pihak menyimpan bara api ketidaksetujuan dan ketidakpedulian di dadanya. Hingga pada puncaknya, Si A dipecat dari organisasi itu. Jika Si A tidak terima, terjadilah upaya saling menjatuhkan dimana masing-masing orang kehilangan perspektif persahabatannya.

"Hindarilah bersahabat dengan orang yang membohongimu,
hindarilah bersahabat dengan orang yang memanfaatkanmu,
dan hindarilah bersahabat dengan orang menjerumuskanmu"
(Ali bin Abu Thalib)


Untuk persahabatan yang tengah kendor intimasinya karena ada perbedaan dan perubahan, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah:
Pertama, menjaga ritme dan frekuensi hubungan. Jangan terlalu sering atau jangan sama sekali putus hubungan. Aturlah ritme dan frekuensinya. Kenapa? Jika Anda terlalu sering, padahal status dan peranan sahabat Anda itu sudah tidak seperti dulu lagi, akan lain tafsirannya. Tapi jika hubungan itu terputus sama sekali, ini juga tidak tepat.
Jika kebetulan nasib kita ternyata lebih di atas, akan lebih bagus kalau kita yang berinisiatif memulai memelihara persahabatan itu. Kalau memungkinkan dan itu dibutuhkan, yang perlu kita lakukan bukan semata 'say hello' atau sekedar bernostalgia, melainkan juga perlu merambah ke gagasan-gagasan pemberdayaan, entah untuk sahabat kita yang lain atau untuk orang lain.
Kedua, hormati privasinya. Dengan peranan dan status yang sudah tidak seperti dulu lagi, tentu sahabat kita ini memiliki aturan hidup yang baru, entah itu terkait dengan keluarganya atau pekerjaannya. Agar persahabatan tetap terjaga, yang perlu kita lakukan adalah menghormati privasinya. Bahkan juga tidak saja perlu menghormati dia semata, tetapi juga orang-orang penting di sekitarnya, misalnya saja suami-istri, atasan-bawahan, dan lain-lain.
Apabila kita berada di posisi yang sebaliknya (orang yang dicari), yang perlu kita hindari adalah curiga duluan kalau sahabat kita ini pasti membawa masalah atau mau minta bantuan, hanya memberi nasehat dengan cara merendahkan, hanya memamerkan kekayaan (unjuk-diri), atau memperlakukannya terlalu formal dan menunjukkan kesan terlalu menjaga wibawa.
Ketiga, hindari meminta bantuan dengan nada dan gaya menuntut (demanding) kecuali memang ada suasana psikologis yang mendukung dan itu tidak melibatkan orang lain selain sahabat Anda. Lebih-lebih, karena tuntutan kita tak terpenuhi, kita kemudian menyebarkan gosip tak sedap, misalnya sahabat kita ini sekarang orangnya sudah lain, makin sombong, angkuh, tak peduli, dan lain-lain. Akan lebih sip kalau kita menempuh cara-cara profesional yang tetap mengedepankan etika dan strategi.
Bila kita berada di posisi sebaliknya, hindari mengeluarkan pernyataan semacam tidak bisa, itu sulit, atau itu tidak mungkin dan semisalnya dengan nada untuk menutup berbagai kemungkinan. Kalau kita tidak bisa membantu langsung, kita bisa membantu secara tidak langsung. Kalau kita tidak bisa membantu keinginannya, kita bisa membantu kebutuhannya. Intinya, munculkan semangat untuk membantu.
Itu semua bisa kita lakukan ketika persahabatan kita dulu adalah persahabatan dalam hal-hal yang positif. Untuk persahabatan yang negatif, tinggalkanlah dengan cara yang baik. Misalnya dulu kita punya geng yang suka narkoba. Karena kita sudah tobat, kita perlu memutus hubungan dengan sahabat-sahabat yang masih terlibat. Tujuannya adalah agar kita tidak terlibat lagi.
Adapun untuk kita yang masih dalam tahap sedang asyik-asyiknya menjalani hidup dengan persahabatan, beberapa hal yang perlu kita ingat adalah:
1. Nikmatilah persahabatan yang ada tetapi jangan sampai menghilangkan diri Anda. Jadikan persahabatan saat ini sebagai lahan untuk aktualisasi-diri dengan bertukar pengalaman, pengetahuan, informasi, berbagi perasaan, dan lain-lain. Termasuk juga jangan sampai persahabatan ini merenggangkan hubungan dengan orang-orang inti: orangtua dan keluarga. Anda tetap bisa bersahabat tanpa harus memunculkan ketegangan dengan orangtua atau keluarga
2. Inisiatifkan untuk memunculkan gagasan-gagasan positif, entah itu yang berkaitan dengan akademik atau non-akademik. Sebagai acuan, buatlah learning group (kajian akademik, dst), problem solving group (bantuan sosial, dst), atau growth group (pengasahan bakat, dst). Ini sangat bermanfaat bagi kemajuan Anda di masa mendatang.
3. Jagalah jangan sampai punya kepentingan yang bertabrakan dengan kepentingan sahabat. Bila itu terjadi, buatlah kesepakatan sefair mungkin dengan melibatkan sahabat lain.
4. Hormatilah dan jangan "memanfaatkan". Misalnya kita bersahabat dengan si anu karena orangtuanya kaya, terpandang, atau ada agenda politis yang kita sembunyikan untuk memanfaatkan sahabat kita. Bersahabatlah karena kecocokan jiwa.
5. Mendukung dan membantu. Banyak orang yang bisa membantu sahabatnya ketika sedang kesusahan tetapi tidak bisa mendukung sahabatnya yang sedang meraih kemajuan. Lawanlah iri dengki di dada dengan cara mendukung dan membantu.
6. Kembangkan perspektif yang fair. Biarpun itu sahabatmu, jangan sampai kehilangan perspektif yang fair. Sebab, pasti ada yang positif dan pasti ada yang negatif. Temukan positifnya sebanyak mungkin.
7. Biasakan saling memberi nasehat dengan cara yang bersahabat, bukan dengan cara menilai, mengoreksi, lebih-lebih membicarakannya di belakang.

"Sahabatmu adalah orang yang sudah tahu banyak tentang dirimu
dan tetap bersahabat denganmu"

Apakah Definisi Kegagalan Bagi Saya ?

Ketika jumlah kegagalan Edison sudah mencapai 9999, seorang wartawan bertanya kepadanya, "Apakah anda akan terus melakukan kegagalan sampai 10. 000 kali?" Jawab Edison: "I have not failed. I have just found 10.000 ways that will not work”. Saya belum gagal, tapi saya menemukan 10 ribu cara yang tidak bisa digunakan. "Saya tidak berkecil hati sebab setiap kegagalan adalah bentuk lain dari langkah maju". "Hanya karena sesuatu terjadi meleset dari skenario perencanaan tidak berarti sia-sia tanpa guna".

Ketika Kolonel Harlan Sander (pendiri KFC) memulai usaha menjajakan konsep menggoreng ayam, beliau tidak langsung mendapat sambutan positif dari sejumlah restoran. Konon jumlah penolakan yang dialami sebelum akhirnya ada orang yang mengatakan YA mencapai 1009 kali, padahal saat itu usia pak kolonel adalah usia pensiunan yang menurut kacamata umum bukanlah usia yang layak untuk merintis usaha hanya untuk menerima penolakan sebanyak itu.

Ketika Mr. Bata memutuskan pindah usaha dari garasi rumahnya di Zlin Cekoslowakia ke Kanada bersama saudaranya yang selama ini mendampingi dirinya dalam berusaha, tak tahunya di tengah jalan musibah tabrakan terjadi hingga membuat saudaranya meninggal. Jadilah akhirnya Mr. Bata melanjutkan usahanya seorang diri.

Tiga contoh di atas memang terjadi pada orang lain dan di negara lain, tetapi kalau kita lihat lebih jauh lagi ternyata bukan kisah pada orang yang bernama si anu dan karena hidup di negara anu tetapi kisah tentang seorang anak manusia, hamba Tuhan, yang taat pada tatanan hukum alam tentang bagaimana sebuah ide atau peristiwa, dijadikan petunjuk untuk bertindak dan bagaimana tindakan itu pada akhirnya menjadi sebuah prestasi. Di sini pun kita mengenal nama sejumlah pengusaha yang juga mengalami kisah perjalanan serupa termasuk misalnya Pak Hengky pemilik Bakmi Japos, dan lain-lain.

Salah satu pertanyaan yang pantas kita ajukan kepada diri kita adalah, mengapa mereka punya sedemikian besarnya ketahanan, punya sedemikian hebatnya ketaatan? Terlalu mengada-ngadakah bila kita bersumpah tidak gagal padahal kegagalan itu nyata-nyata terjadi di depan mata atau dialami oleh diri kita?

Batasan DEFINISI Kegagalan

Menurut kamus, definisi adalah batasan, atau pernyataan mental yang kita gunakan untuk membatasi guna mendapatkan perbedaan (the statement that defines). Perbedaan di tingkat definisi inilah faktor mendasar yang membedakan Mr. Bata dan bata yang lain, Edison dan edison yang lain, atau Sander dan sejumlah sander lain di dunia ini.
Menelaah hasil pengalaman alamiah sejumlah orang berprestasi dan hasil temuan ilmiah para pakar, ada tiga batasan (definisi) mendasar yang membedakan, yaitu:

a. Batasan Kuantitas

Batasan Kuantitas ini adalah hitungan angka atau semacamnya yang kita gunakan untuk mendefinisikan kegagalan kita. Belajar dari kisah di atas dan sejumlah orang lain yang sudah berprestasi ternyata mereka menetapkan batas yang lebih luas atau batasan yang tidak terbatas. Edison tidak menjadikan hitungan kegagalan sebagai batas, kolonel sander tidak menjadikan angka umur dan angka penolakan sebagai batas. Mereka menjadikan kesetiaan yang tak terbatas sebagai batas sehingga kegagalan yang dialami menempati posisi yang tidak berlawanan dengan kesuksesan yang diinginkan.

Hal ini berbeda dengan yang bisa ditemukan di kebanyakan orang yang menggunakan angka frekuensi, angka umur atau angka nominal sebagai pembatas untuk menghakimi gagal dan tidaknya sebuah usaha. Tidak berarti salah total memang, tetapi yang perlu kita audit adalah, jangan-jangan ketetapan angka yang kita bikin sendiri itulah yang menyiksa kita selama ini. Sebab kalau kita teliti lebih jauh, ternyata angka bukanlah berperan sekedar angka tetapi punya pengaruh riil terhadap ketahanan dan ketaatan kita dilapangan.

Kalau kita menetapkan hitungan seribu kali setidaknya meskipun kita gagal tujuh ratus kali, semangat kita masih hidup tetapi ketika batasan kita hanya ke angka lima ratus, angka kegagalan sebanyak tujuh ratus kali adalah angka yang sangat membebani pikiran kita. Beban di pikiran akan berpengaruh pada beban di praktek, beban di praktek akan berpengaruh pada beban di hasil, beban di hasil akan berpengaruh pada beban di kehidupan kita. Bisa jadi kalau batasan yang kita tetapkan terlalu sempit, kegagalan kita sebenarnya tidak membatasi usaha kita meraih kesuksesan tetapi opini kita tentang kegagalanlah yang membatasinya.

Hal lain yang perlu kita waspadai dengan angka yang kita ciptakan sendiri. Samuel Somerset pernah mengatakan, kita umumnya menolak sesuatu (kecuali sesuatu yang kita inginkan), namun justru sesuatu itulah yang sering ditawarkan kepada kita oleh hidup ini. Ketika kita sudah menetapkan angka 100 hari adalah batas untuk menghakimi usaha - biasanya yang terjadi justru meleset. Dalam hari yang ke-100 usaha kita belum juga membawa hasil yang jelas karena berbagai proses yang dihadapi selama perjalanan usaha.

b. Batasan Kualitas

Batasan Kualitas yang dimaksudkan di sini adalah sasaran dari usaha kita. Belajar dari tradisi kehidupan orang berprestasi tinggi, ternyata mereka punya sasaran hidup yang tinggi bahkan tidak menjadikan sasaran itu sebagai batas akhir (destination), tetapi sasaran perantara untuk mencapai sasaran berikutnya. Sasaran yang tinggi seperti yang diakui oleh Mohamad Ali adalah hiburan yang bisa menyembuhkan kita dari kebrutalan realita. Sasaran yang tinggi menurut Jackie Chan bisa membuat kita mampu memaafkan kegagalan kecil yang tidak menjadi ukuran utama.

Menurut aritmatika kehidupan, apa yang dikatakan oleh Zig Ziglar nampaknya banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari bahwa kalau usaha kita punya sasaran menembus bulan, setidak-tidaknya walaupun meleset, landing-nya akan ke bintang. Mungkin inilah yang bisa menjawab rahasia mengapa orangtua kita dulu menyarankan bercita-cita tinggi. Kalau kita tidak untung dari hasil cita-cita setidaknya kita akan untung dari hasil semangat cita-cita.

Hal ini akan berbeda ketika sasaran dari aktivitas kita rendah. Tidak berarti salah - karena kita juga terkadang perlu memperhitungkan banyak hal - tetapi yang terpenting adalah, jangan sampai hidup kita terlalu mudah disiksa oleh problem yang muncul di tengah-tengah usaha mencapai sasaran. Lebih-lebih lagi jika sasaran yang rendah itu kita yakini dan tetapi hidup mati. Munculnya problem bukanlah jembatan bagi kita untuk naik tetapi bisa semacam tanah longsor yang mengubur imajinasi kita.

c. Batasan Rasionalitas

Apa yang saya maksudkan dengan Batasan Rasionalitas di sini adalah batasan yang rasional antara usaha dan manusia yang menciptakan usaha. Belajar dari mereka yang sudah berprestasi di bidangnya ternyata mereka sudah mampu membedakan antara definisi "Apa & Siapa". Usaha mereka memang gagal tetapi mereka tidak menciptakan definisi-diri sebagai orang gagal, dan inilah yang lebih rasional. Karena mereka tetap berpikir sebagai orang yang punya alasan untuk sukses maka kegagalan yang terjadi pada usahanya tidak membuat mereka menggagalkan diri.

Hal ini akan berbeda ketika kita gagal dalam usaha, lantas membuat definisi yang menyamaratakan antara kita dan usaha kita. Dalam praktek hidup, kegagalan usaha itu bukanlah pilihan tetapi konsekuensi yang tidak bisa dipilih sedangkan definisi-diri sebagai orang gagal adalah pilihan kita. Definisi-diri ini sudah diakui oleh baik temuan ilmiah atau ajaran kitab suci apapun sebagai kekuatan yang punya pengaruh riil terhadap prilaku kita. Ketika kita putus asa dapat dipastikan bahwa definisi-diri yang kita ciptakan atas diri kita bukanlah seorang warrior (jagoan) tetapi seorang loser (pecundang).

Para pakar pengetahuan sudah bekerja banyak mengabarkan sesuatu kepada kita bahwa level harga-diri (self-esteem) adalah level yang menentukan level semangat untuk mengalahkan kegagalan atau dikalahkan oleh kegagalan. Semua itu tak bisa dilepaskan dari harga yang kita patok buat diri kita.

Proses Belajar

Hidup ini 20% skill dan 80% strategi, begitulah kira-kira yang pernah disimpulkan oleh Jim Rohn. Hidup ini 10% apa yang terjadi dan 90% adalah stretagi mengatasi apa yang terjadi, kata Charles Swindoll. Keberhasilan itu 20% bakat dan 80% adalah stretegi mengembangkan bakat, kata temuan Harvard University tahun 1990-an. Kemenangan itu 50% fisik dan skill dan 50% strategi mental, menurut falsafah psikologi olahraga. Mungkin inilah rahasia mengapa individu, masyarakat atau bangsa yang sudah maju itu lebih gampang meraih kemajuan karena mereka sudah lebih banyak mengantongi strategi yang diwariskan atau yang didapatkan.

Kalau itu bisa kita jadikan petunjuk berarti semua orang tanpa terkecuali punya potensi untuk kalah oleh kegagalan dan potensi untuk menang melawan kegagalan, tergantung sebagian besarnya pada strategi yang dipilih. Sebagai salah satu strategi berikut ini bisa kita pilih sebagai acuan:

a. Manajemen

Strategi membutuhkan manajamen berpikir dan bertindak yang berbeda. Berpikir, ber-cita-cita, ber-sasaran, ber-target, dan bergagasan memang harus tinggi setinggi bintang yang kita bayangkan tetapi giliran bertindak, berjalan, dan ber-praktek harus dimulai dari yang terkecil, terdekat, dan dari "asset" atau kemampuan yang paling banyak tersedia di dalam diri kita sehingga ketika kegagalan terjadi masih bisa kita deteksi asal-usulnya. Apa yang menimpa perusahaan besar sama seperti apa yang menimpa diri kita bahwa munculnya "gap knowing-doing" adalah sumber pemborosan energi dan materi karena lemahnya manajemen berpikir dan bertindak.

b. Berpedoman kompas

Berpedoman pada kompas berarti menjadikan arah (direction), tujuan (goal) dan target sebagai petunjuk dan sebagai ukuran. Berarti pula kita perlu meninggalkan gaya hidup yang diatur oleh angka-angka "jam kegagalan" karena angka itu bukan tujuan atau sasaran kita. Anthony Robbin menyarankan, gunakan waktu untuk memikirkan angka kegagalan 10% saja dan gunakan 90% waktu untuk berpikir kompas solusi, penyelesaian, kemajuan dan tindakan.

c. Mencari sumber keteladanan

Untuk memperluas definisi kegagalan yang sempit, sumber teladan yang kita butuhkan adalah orang yang sudah lebih tinggi prestasinya dari kita; orang yang lebih kuat daya tahannya dari kita. Mark Twain pernah menulis, mendekati orang besar akan menambah keyakinan-diri bahwa kita pun bisa menjadi besar seperti orang itu. Dari saluran "energi ketularan" yang mengalir secara alamiah, tehnik perbandingan positif ini (positive comparison game) ternyata telah mampu menolong banyak orang.

d. Pembaharuan Diri

Strategi pembaharuan (self-renewal) yang sudah teruji secara ilmiah dan alamiah adalah menambah 3P (pengetahuan, pengalaman dan pembelajaran). Hal ini seperti yang diakui oleh Gib Atkin bahwa pembelajaran yang kita tambah bukanlah sekedar kekayaan yang kita miliki tetapi juga kekuatan yang membentuk definisi-diri yang baru. Berubahnya isi mindset (pikiran, perasaan dan keyakinan) akan menjadi jembatan berubahnya sikap mental, menjadi jembatan berubahnya sistem tindakan dan menjadi jembatan berubahnya hasil.

e. Membuktikan keyakinan

Mahatma Gandhi mengakui bahwa tebalnya tembok penjara penjajah masih belum setebal tembok pembatas yang kita bangun sendiri di dalam (self-limiting belief). Meskipun sebenarnya kita punya ketahanan dan bakat untuk sukses di bidang kita tetapi kalau kita sudah tidak yakin, kemungkinan besar kemampuan kita mubazir. Apa yang kita yakini adalah apa yang sering terjadi dan apa yang sudah biasa terjadi adalah apa yang sudah sering kita yakini.


Merobohkan tembok mental semacam itu seringkali tidak cukup dengan mulut atau dengan mengganti keyakinan tetapi juga perlu pembuktian (challenging belief) melalui aksi pribadi. Benarnya materi keyakinan kita sudah dibenarkan oleh orang lain ribuan tahun lalu tetapi itu akan menjadi tidak benar buat kita kalau kita tidak benar-benar melakukan pembuktian sendiri. Jika kita yakin tak ada kesuksesan tanpa kegagalan, ini namanya kebenaran umum yang sudah jelas benar tetapi benar dan tidaknya buat kita tergantung pembuktian kita. Selamat membuktikan!




From: e-psikologi.com